Feb 2, 2011

Pembauran di Pulau Dewata

island of gods here I come...
 
* Selamat menjelang detik-detik menuju musim semi dan tahun baru 2562 *
 

PERANAKAN TIONGHOA

Mereka Melebur Sempurna di Bali

Kompas/Iwan Santosa

Barong berkulit gelap adalah Raja Jaya Pangus (kiri). Ia dan istri Tionghoanya, Kang Tjin We, dirawat di dalam Gria Ida Pedanda Gde Manuaba di Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali. Ida Ayu Putri (21), cucu Ida Pedanda Gde Manuaba, memasang sesaji dan dupa bagi pasangan Barong Landung yang melambangkan perkawinan raja Bali dan perempuan Tionghoa.

Iwan SantosA/Ayu Sulistyawati

Wayan Rangki (65) dan beberapa ibu sibuk menyiapkan beberapa ember untuk diisi air, beberapa ornamen, dan kembang, Sabtu (29/1), di tempat ibadah Tridharma Cao Eng Bio, Tanjung Benoa, Bali. Mereka bukan keturunan Tionghoa. Agama mereka pun Hindu Bali. Namun, mereka hanya satu niat, ngayah (mengabdi)!

Selain menyama braya (gotong royong), kebiasaan yang melekat adalah ngayah, seperti Ny Rangki. Ngayah tak membatasi ruang dan waktu, apalagi membedakan soal keyakinan. Ngayah itu pun mereka tujukan kepada Sang Hyang Widi, para dewa, dan leluhur.

Ny Rangki mengaku tak ragu membaktikan dirinya beserta suaminya di kelenteng tersebut. "Ini pengabdian kami terhadap Dewa Baruna," katanya lirih.

Ya, ada kemiripan nama dewa di kepercayaan China dan Hindu Bali, yakni Dewa Laut (Yatikong) dengan Dewa Baruna. Mungkin itu pula yang mempererat persaudaraan menyama braya di Tanjung Benoa, sekitar 30 kilometer dari Denpasar.

Kelenteng Cao Eng Bio ada sejak tahun 1546, konon didirikan para saudagar Tionghoa yang berdatangan di Pulau Dewata lewat Pelabuhan Benoa. Awalnya kelenteng berada di dalam area Pura Dalem Ning beberapa meter dari kelenteng yang ada saat ini. Tahun 1800- an, pihak Puri (kerajaan) Pemecutan, Denpasar, memberikan tanah untuk dibangun kelenteng yang sekarang ini berdiri.

Selanjutnya, mereka pun beranak-pinak. Pembauran itu di antaranya dengan menyerap kebudayaan Bali, seperti pemangku (biokong) kelenteng mengenakan baju adat Bali, termasuk ikat kepala (udeng).

Perkembangannya, persembahan yang biasanya berupa kembang dan buah pun dihiasi canangsari yang merupakan sarana upacara umat Hindu Bali, yaitu tempat bunga yang biasanya berbentuk kotak sama sisi berukuran sekitar 10 sentimeter dari janur kelapa serta ada rajangan daun pandan.

Ketua Pengurus Kelenteng Tanjung Benoa Suyanti, atau Yong Siu Yang (56), bangga bisa membaur dengan budaya lokal. Pembauran juga terjadi ketika masing-masing memiliki kegiatan upacara dan saling membantu. Bahkan, tak sedikit pula umat Hindu yang turut bersembahyang di kelenteng. "Saya lahir dan besar di Denpasar. Jadi, kelegaan bisa menyatu dengan warga setempat," katanya.

Pada hari-hari tertentu, umat kelenteng berkumpul dari sejumlah wilayah Bali, Nusantara, dan negara tetangga. Jumlahnya bisa lebih dari seribu orang. Tahun baru Imlek menjadi salah satu momen pemersatu dua kebudayaan berbeda di Tanjung Benoa. "Apalagi mata pencaharian sebagian adalah nelayan. Kami ini sama-sama ngayah Dewa Baruna," kata Suyanti.

Tradisi kebersamaan itu terus dipelihara berabad-abad. Mangku Chandra alias Lie Tian An yang mengurus Kelenteng Cong Po Kong atau Ida Ratu Gede Ngurah Subandar di Pura Ulundanu Batur mengatakan, seluruh ritual umat kelenteng harus permisi kepada dewa-dewi di Pura Ulundanu Batur.

Pura Batur perpaduan Tionghoa dan Bali yang berasal dari perkawinan Raja Jaya Pangus di abad ke-XII dengan Kang Tjin We, seorang dara Tionghoa.

Tidak hanya sembahyang, pelbagai aspek kehidupan masyarakat Tionghoa Peranakan di Bali sudah melebur menjadi bagian kebudayaan suku Bali. "Kita sering ngarak Barong Bangkung untuk menolak bala dan mendatangkan kebaikan dari pintu ke pintu," ujar penyanyi Ayu Laksmi yang asli Singaraja, di ujung utara Bali.

Barong versi Bali tersebut diarak berkeliling diiringi anakanak kecil. Rombongan barong pun mendapat uang pemberian dari pemilik rumah.

Tradisi ngelawang atau membawa barong melewati pintu rumah dan toko persis dengan kebiasaan masyarakat Tionghoa yang membawa barongsai untuk memberkati rumah dan toko saat perayaan tahun baru. Tradisi ngelawang Bali lazim dilakukan di antara perayaan Galungan dan Kuningan.

Barong dalam pelbagai bentuk menambah kekayaan khazanah budaya Bali. Guru Besar Institut Seni Indonesia Denpasar, Bali, I Wayan Dibia, menjelaskan, Barong Ket merupakan adaptasi barongsai. "Tetapi kalau Barong Ket dipaksakan melakukan akrobatik seperti barongsai itu sudah menyalahi pakem. Barong Ket di Bali sudah melebur dan ikut tampil dalam pentas, seperti Calon Arang," kata Wayan Dibia.

Demi mengenang perkawinan Raja Jaya Pangus dan Kang Tjin We, masyarakat Bali juga membuat sepasang Barong Landung.

Syarat nikah yang diminta Kang Tjin We, seperti uang kepeng Tiongkok, hingga kini digunakan masyarakat Bali dalam upacara keagamaan. Malahan, ujar petinggi Hindu Bali, Ida Bagus Putera Siwagatha, Pura Batukaru memiliki pertima (benda keramat utama) berupa uang kepeng. "Penggunaan dupa oleh masyarakat Bali juga diadopsi dari tradisi Tionghoa, juga sejumlah tarian dan pelbagai produk seni ukir Bali," ujar Siwagatha yang berasal dari Ubud, Kabupaten Gianyar, yang merupakan jantung budaya Bali.

Proses percampuran budaya terus berlangsung hingga awal abad ke-20 ketika pertunjukan Sampek-Engtay dipentaskan di Bali. "Pada tahun 1970-an, kami mementaskan Sampek-Engtay di Singapura dengan busana Bali dan pakem cerita Bali. Penonton Singapura menangis menyaksikan cerita itu," kata Dibia.

Meski melebur dan tidak berjarak, ada hal yang lebih penting lagi dari kebersamaan masyarakat Tionghoa Peranakan di Bali, yakni mendorong kemakmuran bagi seluruh warga Bali dengan semangat "Tat Twam Asi". Aku adalah kamu, kamu adalah aku.

Selamat tahun baru Imlek 2562....

Sumber: Kompas, 2 Feb 11


No comments: