Menuntun Warga Toraja selama Seabad
Eksistensi Kristen di Tengah "Aluk Todolo"
Di tengah siang yang terik, Peter Tandi Pole (40) rela berdiri dalam bak truk bersama rombongan kerabatnya dari Kabupaten Palopo, Sulawesi Selatan. Setiba di Kabupaten Tana Toraja, yang berjarak 73 kilometer, ia berbaur dengan ribuan warga yang memadati pusat kota Makale. Mereka larut dalam sukacita memperingati 100 tahun Injil masuk Toraja, Sabtu (16/3) lalu.
"Kami bersyukur. Ajaran agama Kristen telah menuntun warga Toraja selama seabad," ujar Peter, yang datang bersama 20 saudaranya. Rasa syukur mereka tunjukkan dengan karnaval berkeliling kota Makale sambil mengenakan sejumlah atribut khas Toraja, seperti kain bermotif garis vertikal dan alat musik bambu. Replika dari ornamen gereja pun turut diarak.
Pawai dimulai pukul 14.00 dan berlangsung selama 3,5 jam. Memasuki malam hari, ribuan obor menerangi Makale yang gelap gulita selama lima menit. Suasana hening. Sejumlah pendeta mengajak warga merenung dan menghayati Injil sebagai pembawa terang, seperti obor.
Lewati kekacauan
Bagi AJ Anggui, pendeta dan tokoh masyarakat, warga Toraja patut mensyukuri masuknya agama Kristen satu abad silam. Kekacauan akibat perang antarwarga yang berebut lahan kopi pada periode 1850-1900 berakhir setelah Belanda hadir di dataran tinggi Sulsel itu. Pemerintah Hindia-Belanda mendirikan sekolah pada 1908 dan mendatangkan guru dari Ambon, Minahasa, serta Timor. Pendidikan perlahan-lahan mengubah pola pikir masyarakat Toraja.
"Waktu itu ada guru yang berinisiatif mengajarkan agama Kristen di luar jam sekolah. Ternyata respons dari masyarakat Toraja positif," ujar Anggui. Pada 16 Maret 1913, pendeta Belanda Johannes Kelling membaptis 20 tokoh masyarakat. Prosesi itu secara resmi menandai masuknya ajaran agama Kristen di Toraja.
Jauh sebelum mengenal agama Kristen, masyarakat Toraja menganut "Aluk Todolo". Kepercayaan warisan leluhur itu memandang siklus hidup manusia yang kelak kembali ke langit setelah melalui transformasi. Persembahan kerbau dan babi dalam ritual Rambu Solo' (dukacita) dan Rambu Tuka (sukacita) berfungsi sebagai media arwah bertransformasi ke dalam wujud dewa sekaligus bekal menuju Puya (surga).
Menurut Ketua Badan Pekerja Sinode Gereja Toraja Musa Salusu, ajaran Kristen memandang daging hewan persembahan sebagai aspek sosial. Daging dibagikan kepada sesama dengan semangat cinta kasih.
"Meski pada dasarnya bertentangan, ajaran Kristen berupaya menyesuaikan diri dengan budaya yang mengakar di masyarakat. Itu sebabnya, ajaran Aluk Todolo dan Kristen bisa beriringan selama satu abad," ungkapnya lagi.
Meskipun kini 90 persen dari 251.000 warga Toraja memeluk agama Kristen Protestan dan Katolik, nilai-nilai Kristiani belum mengakar kuat. Tradisi luhur Aluk Todolo tetap digelar, menjadi ajang aktualisasi diri. Banyak keluarga dari kalangan berada menggelar ritual Rambu Solo' dan Rambu Tuka secara berlebih. Mereka mempersembahkan ratusan kerbau dan babi yang menelan biaya miliaran rupiah. Hal itu menyimpang dari ajaran agama Kristen dan petuah leluhur yang membatasi jumlah hewan persembahan, yaitu maksimal 24 ekor.
Bagi Musa, kondisi itu menjadi tantangan terbesar kalangan gereja di Toraja. Hingga kini pendeta terus-menerus mengingatkan masyarakat agar menjalani ritual itu dengan berpijak pada kemaslahatan sesama.
"Dalam ceramah gereja, kami juga sering kali mengimbau agar materi berlimpah hendaknya dimanfaatkan untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, atau membantu sesama yang kekurangan," ungkap Musa.
Pedoman gereja itu rupanya mampu mengetuk hati sejumlah bangsawan Toraja untuk menghindari pelaksanaan ritual secara besar-besaran. Jonathan L Parapak, misalnya, menggelar upacara adat Rambu Solo' secara sederhana saat ibundanya meninggal di Desa Labo, Kecamatan Sanggalangi, Kabupaten Toraja Utara, 10 tahun lalu.
Ia membeli 10 ekor kerbau belang (kerbau terbaik yang biasa disebut tedong bonga) yang disumbangkan pada gereja, kelompok masyarakat, dan sekolah. Kerbau senilai lebih dari Rp 3 miliar itu dijual untuk membantu warga miskin, membangun infrastruktur jalan di pedesaan, dan memperbaiki gedung sekolah.
Jumlah kerbau yang disembelih sekadar memenuhi kebutuhan makan tamu undangan. "Hal itu kami lakukan atas kesepakatan seluruh anggota keluarga," ujar Jonathan, yang menjabat Rektor Universitas Pelita Harapan. Sejak 2008, ia juga memberi beasiswa kepada 50 siswa SMA di Toraja setiap tahun untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.
Dalam lima tahun terakhir, jumlah bangsawan yang mengikuti jejak Jonathan terus bertambah. Ada keluarga Frederick Lande, Ismerda Lebang, Pius Tollong, dan Deka Paranoan.
Jonathan memandang, keteladanan tokoh masyarakat itulah yang membuat agama Kristen tetap eksis di tengah akar budaya Aluk Todolo. Meski cara pandang keduanya berbeda, inkulturasi membuat agama dan budaya dapat seiring sejalan. Itu menjadi warisan berharga bagi generasi muda Toraja di milenium kedua.(ASWIN RIZAL H)
Sumber: Kompas, 18 Maret 2013
No comments:
Post a Comment