Mengembalikan Tugas
Gereja yang pertama-tama adalah persekutuan iman...
VATIKAN
Bisikan dari Langit
Oleh Trias Kuncahyono
Siapa yang akan menduduki Takhta Vatikan? Pertanyaan itu kembali muncul ketika 115 kardinal, Selasa (12/3), beriringan masuk Kapel Sistina di Vatikan untuk memulai konklaf. Inilah konklaf yang "terpaksa" dilakukan karena Paus Benediktus XVI (sekarang Paus Emeritus Benediktus XVI) "mengembalikan tugas kepada Gereja", 28 Februari lalu.
"Mengembalikan tugas" adalah istilah religius, yang dalam bahasa politik disebut pengunduran diri, "lengser", atau "turun takhta". Disebut "mengembalikan tugas" karena saat Kardinal Joseph Ratzinger dipilih sebagai Paus pada konklaf, 19 April 2005, ia "menerima tugas" tahbisan menjadi pemimpin Gereja Katolik sedunia. Sebagai pemimpin tertinggi umat Katolik sedunia, ia memiliki dua tugas utama: tugas rohani dan tugas publik, yakni sebagai pemimpin negara Vatikan.
Status Paus sebagai pemimpin negara ditegaskan dalam Perjanjian Latheran. Perjanjian itu ditandatangani pada 11 Februari 1929 oleh Benito Mussolini (pemimpin Italia) dan Sekretaris Negara (Perdana Menteri) Vatikan Kardinal Pietro Gasparri. Isi perjanjian itu—antara lain mengakui Vatikan sebagai negara merdeka berdaulat seluas 44 hektar—ditegaskan dalam Konstitusi Italia (1948).
Itulah sebabnya konklaf pun sering dilihat sebagai peristiwa politik: memilih seorang pemimpin negara. Sangat wajar kalau menjelang konklaf kemudian muncul sejumlah kardinal yang diunggulkan, yang difavoritkan menjadi Paus. Tentu pengunggulan ini (tidak resmi karena Vatikan tidak pernah mengunggulkan atau mencalonkan seorang kardinal sebagai calon Paus) dikaitkan dengan kondisi dan perkembangan zaman, yang dilihat akan atau sedang dihadapi oleh Gereja Katolik.
Sebut saja persoalan besar yang dihadapi Gereja saat ini, misalnya, sekularisasi yang terjadi di banyak negara, perkawinan sejenis, memperbolehkan aborsi, dan bagaimana membangun atau lebih tepatnya meningkatkan hubungan antar-agama, mengikis kemiskinan, menegakkan perdamaian, dan lain sebagainya.
Dari sinilah muncul sejumlah nama kardinal yang dinilai oleh "dunia di luar Vatikan" atau di luar "prinsip dasar sebuah konklaf" sebagai yang paling pas dan cocok menduduki Takhta Vatikan. Ada kardinal dari Amerika Latin, 40 persen dari 1,2 miliar umat Katolik berada di benua itu; ada kardinal dari Afrika karena dipandang sebagai ladang yang subur; ada pula dari Asia dan Amerika Utara. Ada pula yang berpendapat, ini saatnya dipilih seorang Paus non-Eropa, sebagaimana yang terjadi selama ini.
Satu hal yang perlu dicatat, dalam Gereja tidak ada Asia, Afrika, Eropa, Amerika Utara, dan Amerika Latin. Gereja adalah satu dan universal. Jadi, siapa pun kardinal yang terpilih tak mewakili wilayah atau kawasan. Ia pemimpin Gereja. Yang jelas adalah ada banyak calon Paus masuk ke Kapel Sistina, tetapi hanya akan ada satu Paus yang keluar dari Kapel Sistina.
Hal lain yang perlu dicatat: Gereja yang pertama-tama adalah persekutuan iman dan setelah itu baru sesuatu yang berurusan dengan politik. Karena itu, "bisikan dari langit" tetap menjadi penentu utama dalam sebuah konklaf. Siapa pun yang terpilih akan menjadi bagian dari sejarah baru: dalam zaman modern Gereja memiliki dua Paus meskipun yang satu sudah emeritus.
Sumber: Kompas, 11 Maret 2013
No comments:
Post a Comment