Jul 8, 2008

Karl May & Buku Penanda Zaman

Karl May & Pembelajaran Inklusivisme
Pikiran Rakyat, 3 Januari 2008

Buku-bukunya telah memberi sesuatu yang berharga di masa remaja kita, yaitu keindahan dan kekuatan persahabatan antara ras-ras yang berbeda. (Goenawan Mohamad)

BAGI pembaca Indonesia yang suka dengan kisah-kisah perjalanan, nama Karl May (1842-1912) tak asing. Hidup sezaman dengan Jules Verne dan Mark Twain, karya-karya Karl May menjadi salah satu khazanah bacaan berharga bagi sekian banyak pembacanya. Penulis dari Jerman ini bercerita tentang negeri-negeri yang eksotis atau dianggap eksotis di zamannya, dengan latar belakang gurun pasir Arabia, dunia wild west di Amerika Utara, dan petualangan di Asia Selatan, Tenggara, dan Timur, termasuk Indonesia.

Di kalangan orang Indonesia, karya-karya Karl May menjadi bacaan banyak pelajar dan pemuda, termasuk pelajar dan pemuda yang bergerak di lapangan pergerakan awal Indonesia seperti Bung Hatta. Masa emas kejayaan buku-buku Karl May di Indonesia, berakhir ketika Jepang masuk pada awal tahun 1940-an. Baru satu dasawarsa kemudian, melalui M. Soendoro (1910-1962), direktur penerbit Noordhoff-Kolff di Jakarta, karya-karya pengarang yang pernah berkunjung ke Padang dan Aceh ini, kembali diperkenalkan dengan terjemahan bahasa Indonesia. Tokoh-tokoh semacam Old Shatterhand dan Winnetou, sang kepala suku Indian Apache, serta kisah-kisah kepahlawanan, kejujuran, dan persahabatan dari padang "praire" menjadi bagian dunia banyak orang di Indonesia.

Menurut Seno Gumira Ajidarma dalam pengantar buku Menjelajah Negeri Karl May yang ditulis Pandu Ganesa (Pustaka Primatama, 2004), banyak orang Indonesia mulai dari Bung Hatta sampai Yenni Rosa Damayanti mempunyai utangnya masing-masing kepada Karl May; apakah itu menjadi sadar bahaya kepicikan rasisme, semangat antikolonialisme, atau kesadaran pada keindahan persahabatan antarmanusia.

Pengarang bernama asli Carl Friedrich May ini lahir pada 25 Februari 1842, di sebuah kota kecil Ernstthal di daerah Saxony, Jerman Timur. Karl May menyebut tempat kelahirannya sebagai tempat biang kesengsaraan, kecemasan, dan penderitaan. Sebagian besar penghuninya adalah penenun miskin, termasuk keluarga May.

Ia tumbuh dewasa dengan tinggi badan 166 cm (terlalu kecil untuk ukuran pria Eropa) dan kaki yang bengkok karena terkena rachitis. Namun, imajinasi May tumbuh dengan baik mengatasi keterbatasan fisiknya. Sebagian besar imajinasinya dipengaruhi sang nenek dari garis ayah, Johanne Christiane May.

Karl pernah mengidap gangguan kejiwaan parah, Dissosiative Identity Disorder (DID), yang menyebabkan ia kerap menjadi pribadi-pribadi yang berbeda. Gangguan kepribadian ini sempat mengantarkan May beberapa kali keluar masuk penjara. Tetapi, penjara memberi kesempatan besar untuk pengembangan imajinasinya. Ia mendapat hak khusus meminjam buku-buku perpustakaan dan imajinasinya melambung menembus jeruji sel.

Karya May baru diterbitkan dalam bentuk buku untuk pertama kali pada 1879, saat ia berusia 37 tahun. Buku itu berjudul In Fernen Western (Di Barat Jauh). Tahun 1890, tujuh cerita yang diperuntukkan bagi anak-anak dan remaja terbit dalam bentuk buku. Karya-karya itu antara lain dikenal di Indonesia sebagai Anak Pemburu Beruang, Raja Minyak, dan Harta dari Danau Perak. Dua tahun kemudian May baru memperoleh sukses besar ketika penerbit Friedrich Ernst Fehsenfeld menerbitkan seri Kara Ben Nemsi dengan sampul tebal (hardcover), disusul dengan trilogi Winnetou (1893).

Hingga tahun 2003, karya-karya Karl May telah diterjemahkan ke dalam tidak kurang dari 39 bahasa, termasuk bahasa Sunda. Menurut catatan Pandu Ganesa, dalam sebuah simposium tahun 2001 di Lucerne, Swiss, salah satu buku yang dipamerkan adalah Rajapati (cetakan kedua, 1997), diterbitkan Girimukti Pasaka milik Oejeng Soewargana, dan diterjemahkan ke dalam bahasa Sunda oleh Sjarif Amin dari Winnetou Het Opperhoft der Apachen.

Saat ini, buku-buku Karl May kembali diterjemahkan dan diterbitkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Pustaka Primatama bekerja sama dengan Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI) dari versi Jerman lengkap dengan catatan kaki dan lampiran-lampiran yang melatarbelakanginya. Di toko-toko buku, judul-judul seperti Winnetou (kini telah beredar sampai empat jilid), AnakPemburu Beruang atau kisah petualangan Kara Ben Nemsi di sudut-sudut Balkan, bersaing dengan Harry Potter, buku-buku "chiklit" dan komik manga yang lebih meraih perhatian anak-anak dan remaja.

Tetapi tak apa, sebuah buku toh dihadirkan tidak melulu sebagai keputusan ideologis. Sebuah buku berarti juga sebagai penanda suatu zaman. Tentu, Karl May kini tak "berkuda" sendirian. (Denny Y.F. Nasution, alumni Stikom Bandung dan peminat buku) ***

No comments: