Oct 10, 2012

Dulu pembungkaman, kini pengabaian

Ketika pena masih bisa menjadi senjata, maka kekuasaan pun masih bisa dikontrol, tapi apa jadinya bila pena (kata-kata) bisa leluasa bersuara tapi menjadi tak bermakna di telinga? Hanya menjadi hal yang diabai? Maka kata-kata, sesungguhnya telah mati. Kata-kata telah terpendam dingin, bisu di pusaranya.

Bersimpuh di Pusara Kata

Metro Ambassador | Selasa, 21 Agustus 2012 08:08 WIB
INDRA MAULANA
INDRA MAULANA



"Kata-kata telah mati! Kita berada di zaman kematian kata-kata!"


Seorang teman tiba-tiba berseru dalam sebuah diskusi kecil, atau tepatnya obrolan ringan suatu malam. Aku terhenyak, lalu terpekur dan mengendapkan kabar duka itu.

Mulanya kami hanya berbincang tentang keluh kesah yang itu-itu saja; seputar tidak hadirnya negara (pemimpin) dalam berbagai permasalahan. Tapi obrolan seolah mengarah makin serius. Mereka yang mengaku aktivis, cendekia, dan berbagai sebutan lainnya, seperti sudah sampai pada taraf putus asa. Putus asa karena berbagai cara telah disampaikan kepada pemerintah, kepada wakil rakyat, pada penguasa, tentang sejumlah problematika negeri. Putus asa karena mereka bebas berunjuk rasa, bebas meneriakkan protes tentang sesuatu yang salah, tentang sesuatu yang dituntut untuk diperbaiki oleh seluruh elit negerinya, tapi kebebasan bersuara itu seperti berakhir sia-sia, tidak didengar. Atau didengar tapi diabaikan.

Seorang teman lain berseru: "Di zaman Orba, mulut kami dibungkam, tetapi suara (kata) kami bisa menjadi sangat tajam, hingga merobek telinga mereka (penguasa). Tapi kini kami dibebaskan bersuara, kami tidak dibungkam, tapi mereka menutup telinganya, hingga suara kami pun tak berdaya".

Aku pun langsung teringat sepotong sajak perlawanan seorang aktivis 98, yang karena kalimat dalam sajaknya itu, menggemakan gerakan reformasi dan menjadikannya nyata.

Kekuatan sajaknya itu; "...hanya ada satu kata, Lawan!" membuat sang penyair cum aktifis Wiji Thukul, menjadi salah satu korban penculikan yang belum ditemukan hingga sekarang. Tetapi benih reformasi yang turut disebarnya melalui dorongan kata-kata dalam sajaknya itu telah dituai hasilnya kini.

Ketika pena masih bisa menjadi senjata, maka kekuasaan pun masih bisa dikontrol, tapi apa jadinya bila pena (kata-kata) bisa leluasa bersuara tapi menjadi tak bermakna di telinga? Hanya menjadi hal yang diabai? Maka kata-kata, sesungguhnya telah mati. Kata-kata telah terpendam dingin, bisu di pusaranya.

Yudi Latif, dalam "menyemai karakter bangsa" (2008) menyebut "setiap gerakan kebangkitan bermula dari tanda. Dan bahasa (kata-kata) adalah rumah tanda". Ini menunjukkan betapa pentingnya peran kata-kata, dalam setiap gerakan kebangkitan. Dimulai dari sadar berkata-kata, sadar dalam keberaksaraan, maka akses menuju perubahan yang lebih baik pun terbuka lebar.

Dalam kata, tentu ada gagasan/pikiran. Karena sebenarnya, meminjam ungkapan Radhar Panca Dahana, kata-kata adalah baju dari segala pemikiran/gagasan. "Kata-kata dan pikiran ibarat sebuah kertas, seseorang tak bisa memotong satu sisi, tanpa memotong sisi lainnya di waktu yang sama", ujar Ferdinand de Saussure.

Dengan tidak didengar, dengan hanya diabaikan, maka kata-kata seperti dilolosi dari tubuh makna dan gagasannya.  Dilepasnya jubah kata-kata dari tubuh makna, maka sebenarnya kata-kata telah dibunuh, telah dibuat mati oleh sang 'pengabai' itu.

Ibarat mendengar kabar duka tentang orang tercinta, kabar kematian pun beranjak melahirkan cemas.

Karena itulah, di saat orang berteriak "Merdeka" sebagai selebrasi yang berulang tiap tahunnya, aku memilih bersimpuh di pusara kata-kata. Lalu berharap, kata-kata sebenarnya belum mati, tapi berharap ia hanya mati suri. Karena tanpa kata-kata apalah arti manusia dengan segala peradabannya?

Selintas terdengar sayup dari kejauhan, di luar jendela sana, John F. Kennedy berbisik; "Jika politik itu kotor, biarlah puisi yang membasuhnya"

Indra Maulana


No comments: