Jul 10, 2007

Anak-Anak Borobudur

Another movie worth watching: "Salahkah kita, kala berkata benar?" (EJ)

Gelitik dari Kaki Bukit Borobudur

Di sinilah dialog-dialog suara hati anak dari kaki bukit Borobudur itu diangkat oleh Arswendo. "Salahkah kita, kala berkata benar?" Itulah yang ingin disampaikan Arswendo.

AAFlm - Adegan dalam film �Anak-anak Borobudur� yang mengangkat kisah pemahat di sekitar Candi Borobudur.

Film: Anak-Anak Borobudur

Sutradara: Arswendo Atmowiloto

Pemain: Adadiri Tanpalang, Adi Kurdi, Djenar Maesa Ayu, Acintyaswasti Widianing, Lani Regina, Alexandra T Gottardo, Christine Hakim, Butet Kartaredjasa.

Skenario: Arswendo Atmowiloto

Produksi: aaFilm

Genre: Drama Keluarga

Candi Borobudur yang berada di atas sebuah bukit memang banyak menyimpan cerita. Masyarakat sekitar tentu saja punya banyak cerita soal candi nan agung itu.

Sepenggal kisah masyarakat sekitar Candi Borobudur diangkat oleh Arswendo Atmowiloto dalam film Anak-Anak Borobudur.

Seperti halnya film-film Indonesia yang mengangkat kekhasan sebuah tempat, Anak-Anak Borobudur ini pun mengangkat cerita tentang kehidupan para pemahat batu di sana. Cerita itu dibungkus dalam dialog anak-anak yang akan menghadapi tantangan zaman berikutnya.

Seperti saat menangani serial Keluarga Cemara, Arswendo masih menggunakan Adi Kurdi berperan dalam film itu. Namun masih ada nama besar lain yang ikut mendukung Anak-Anak Borobudur, seperti Christine Hakim dan Butet Kertaradjasa. Namun Arswendo juga mempercayakan pemain-pemain baru sebagai pemeran utamanya. Tersebutlah nama-nama seperti Adadiri Tanpalang, Acintyaswasti Widianing, dan Lani Regina yang menjadi pemeran utama dalam film.

Cerita skenario yang ditulis oleh Arswendo bercerita tentang sebuah kegelisahan anak-anak menyuarakan kicauan hati mereka yang sering kali mendapat tantangan orang tua. Dengan setingan lokasi sebuah desa yang dikelilingi tujuh gunung di sekitar Candi Borobudur, film ini berkisah tentang keluarga Pak Amat (Adi Kurdi) dan anaknya Amat (Adadiri Tanpalang).

Seperti masyarakat di desa itu, keluarga Pak Amat mendapat penghidupan dari keahliannya memahat dan mengukir batu. Amat seorang bocah kelas V SD memiliki kemampuan memahat turunan dari ayahnya. Bahkan kemampuan Amat ini kemudian menjadi harapan semua orang saat Amat diikutsertakan dalam sebuah lomba.

Karya patung-patung Amat diharapkan jadi pemenang dan bisa mengangkat citra sekolah, desa, kecamatan, bahkan kabupaten tempatnya tinggal. Tidak hanya teman-teman, guru, dan kepala sekolah, bahkan bupati pun memberikan perhatian khusus kepada Amat.

Tetapi Amat tidak hanya pintar menggunakan palu dan pahatnya, ia juga cerdas dan berani dengan keyakinannya. Sehingga ketika ia dinyatakan sebagai pemenang, ia menolak hadiah itu meskipun yang memberikan adalah bupatinya. Amat menolak karena ia merasa belum mengirimkan karyanya untuk diikutsertakan dalam lomba.

Patung yang disebutkan menjadi pemenang memang buatannya, tetapi ayahnya yang menyelesaikannya. Dan yang mengirimkan patung itu adalah sahabatnya yang bernama Siti (Acintyaswasti Widianing).

Sehingga ketika harus mengucapkan pidato terima kasih saat menerima hadiah, ia menyebutkan terima kasih kepada ayahnya yang telah menyelesaikan patungnya, terima kasih kepada Siti yang telah membawa patung itu kepada gurunya, dan kepada kepala sekolah yang telah mengirimnya kepada pantia perlombaan. Kontan semua yang hadir dalam acara pemberian penghargaan itu kaget dan memusuhi Amat.

Di sinilah dialog-dialog suara hati anak dari kaki bukit Borobudur itu diangkat oleh Arswendo. "Salahkah kita, kala berkata benar?" Itulah yang ingin disampaikan Arswendo dan menjadi tagline film itu.

Bagi seorang Amat, dialog-dialog yang dihadirkan dalam film itu mungkin akan terasa menggurui. Seperti misalnya ketika ia mendesak ayahnya untuk berbicara apa yang mereka rasakan sesungguhnya. Pikiran-pikiran dan keyakinan Amat serasa melebihi pandangan orang yang lebih tua darinya. Tetapi apakah salah jika Amat berlaku demikian.

Pemeran Amat, Adirda Tanpalang memang masih aktor baru, wajar saja dalam dialog-dialognya di film masih terkesan kaku. Tetapi setidaknya kehadiran Adirda dengan dialek bahasa Jawanya yang kental mampu menghidupkan karakter Amat, bocah dari Borobudur.

Sebagai bocah Borobudur, karakter Amat memang unik. Dengan supel ia mampu bermain dengan siapa saja, termasuk dengan Yoan (Lani Regina), yang sedang kesulitan beradaptasi setelah pindah dari Jakarta. Dengan wajah sumringahnya Amat mampu mendekati Yoan.

Selain itu kamera Arswendo pun menangkap potret keseharian masyarakat di sekitar Borobudur, baik kehidupan pemahat, petani, ataupun penggerak tarian. Dengan setingan pemandangan alam di sekitar Borobudur, film ini sebenarnya cocok untuk ditonton keluarga. Film yang hanya akan diputar di Jakarta, Bandung, Surabaya dan Yogyakarta itu memberikan darah baru di dunia film nasional. Kekuatan cerita. Akting pemainnya dan tentu saja teknik-teknik penggambarannya. [SP/Kurniadi]


Last modified: 9/7/07

No comments: