Jan 4, 2013

Wujud Kebudayaan Masyarakat

 

TEROKA

Potret Sastra Kita

Oleh M Abdul Rohim

Jika kehidupan ini diibaratkan sebagai tubuh, sastra merupakan perasaan. Sementara realitas adalah tubuh. Dunia sastra adalah dunia yang penuh dengan rasa. Sapardi Djoko Damono mendefinisikan sastra sebagai dunia puitik dari realitas (Wahyu Wibowo; 1993).

Sastra adalah wujud dari kebudayaan masyarakat. Dunia kepengarangan pujangga merupakan nadi sastra. Bahkan, sastra adalah sebuah penjelmaan dari apa yang sebenarnya tengah terjadi. Banyak novel yang lahir dari tangan seorang sastrawan merupakan rekaman sejarah yang dibalut dengan cerita fiktif. Akan tetapi, novel-novel tersebut merupakan hasil dari penelitian panjang sang penulis. Salah satu sastrawan yang getol dengan novel sejarahnya adalah Pramoedya Ananta Toer.

Sastrawan lain adalah Sapardi Djoko Damono. Sapardi, yang lebih dikenal sebagai penyair karena kegetolannya di dunia sajak, juga pernah menyabet penghargaan SAE Write Award di Bangkok. Namun, yang menjadi kebanggaan bukanlah penghargaan simbolis seperti itu. Yang terpenting bagi penyair adalah karya itu sendiri. Karya bagi sastrawan, penyair, ataupun pujangga adalah napas kehidupannya. Selama karyanya masih bisa memberikan wawasan dan terbaca, sastrawan akan sangat bersyukur dan bangga.

Tak diperhatikan

Namun kini, dunia kesusastraan tak lagi dihiraukan oleh masyarakat. Pemerintah yang merupakan pengayom dan pelindung sastra tak lagi memikirkan nasibnya. Pemerintah enggan untuk menjadikan sastra sebagai basis kebudayaan di negerinya. Padahal, sastra merupakan lambang kebudayaan bangsa dari pelbagai generasi dan pemerintahan. Pada masa Kartasura, sastra merupakan salah satu unsur yang sangat diperhatikan oleh kerajaan. Seorang pujangga ditempatkan pada posisi agung.

Pujangga zaman kerajaan memiliki totalitas dalam dunia kepenyairan. Karyanya tidak hanya merupakan kegelisahan dalam hati, tetapi karya yang diciptakan juga merupakan hasil olah rasa yang panjang dan mendalam. Hal ini senada dengan kebudayaan Jawa yang selalu mengedepankan olah rasa dalam setiap gerak-gerik kehidupannya (Niels Mulder; 2009).

Salah satu karya fenomenal yang masih menjadi perbincangan karena daya magisnya adalah Serat Jayabaya. Serat Jangka Jayabaya ini disusun oleh Pangeran Widjil pada 1741-1743 (R Tanojo; 1946) dan digubah oleh Raden Ngabehi Ronggowarsito pada 1842.

Serat ini tidak hanya berupa karya sastra yang biasa dikenal dengan dunia fiktifnya. Namun, serat ini juga merupakan salah satu hasil olah rasa sang pujangga yang mampu meramalkan masa depan sebuah bangsa (Indonesia). Banyak peneliti mengamini kebenaran yang terkandung dalam serat ini.

Pendidikan sastra

Mayoritas masyarakat tidak mengenal sastra dengan baik. Kurangnya pemahaman masyarakat akan sastra adalah akibat pendidikan yang tidak memberikan ruang. Agus R Sarjono (2003) menjelaskan, munculnya Taman Ismail Marzuki (TIM) pada 1960-an merupakan salah satu alternatif yang digunakan oleh para penyair dan pekerja seni untuk mendapatkan ruang. TIM awal mulanya adalah oase bagi para penyair untuk ruang ekspresi. Namun kemudian TIM tak dapat membendung arus politis yang terjadi pada waktu itu sehingga akhirnya banyak bermunculan komunitas baru.

Untuk itu, pendidikan sastra merupakan salah satu langkah penting yang harus diperhatikan.

Pendidikan sastra seharusnya bisa menjadi solusi alternatif bagi krisis sastra di negeri ini. Pendidikan sastra tidak hanya memberikan pengetahuan tentang pembuatan kreatif sastra, tetapi di dalamnya yang terpenting adalah isi dari karya itu.

Oleh karena itu, dalam pendidikan sastra ini yang terpenting adalah kritik mengenai sastra itu sendiri. Dengan kritik sastra orang akan banyak bergumul dengan pujangga, penyair, sastrawan lama hingga angkatan baru.

Pendidikan sastra menemu ruangnya sebagai oase sastra di masa depan. Pendidikan sastra sebagai solusi alternatif agar sastra Indonesia bisa lebih hidup dan bernapas dengan tenang.

* Penulis adalah Esais, Wakil Direktur Paradigma Institute

Sumber: Kompas, 04 Januari 2013

No comments: