Falsafah Politik: Wacana + Aksi Nyata
Maulid Politik Kenabian
Oleh ASEP SALAHUDIN
Dalam titik tertentu, setiap nabi dihadirkan tidak hanya sebagai penanda perubahan rohaniah, tetapi juga bersentuhan dengan persoalan politik praktis. Hal ini juga tak terhindarkan dengan sosok Muhammad SAW, yang hari kelahirannya diperingati umat Islam bertepatan dengan tanggal 24 Januari 2013 (AD) / 12 Rabiulawal 1434.
Muhammad bukan hanya seorang Nabi, melainkan sekaligus politisi. Politik di sini tidak sekadar berkaitan dengan hasrat kuasa, tetapi juga dalam makna yang lebih luas—dalam tilikan Michel Foucault—berhubungan dengan institusi budaya, sosial, agama, bahkan pengetahuan. Kekuasaan dalam arti vertikal (mandat individual) dan horizontal-sosial (mandat sosial).
Dalam praktiknya, hampir dipastikan tak ada orang yang terlepas dari politik dan tak mungkin melepaskan diri dari politik. Watak manusia memang makhluk politik, zoon politicon, yang senantiasa didiskusikan, baik menyangkut perilaku maupun basis yang menjadi pijakannya. Sebut saja ada masanya ketika politik itu dijangkarkan pada rasionalisme, individualisme, materialisme, dan metafisika ketuhanan.
Semua fundamen politik itu membayangkan sebuah hasrat tergelarnya kesejahteraan umum dan terbangunnya keadaban publik. Aristoteles menyebutnya dengan tujuan meraih kebaikan utama (highest good) atau ruang berkeadaban (al-madinah al-fadhilah) dalam term Al-Farabi. Dalam nalar falsafah kita diwadahi spirit Pancasila yang berporos pada semangat: ketuhanan, kemanusiaan, nasionalisme, kerakyatan, dan keadilan sosial.
Politik nilai
Tentu saja politik yang diusung Muhammad SAW lebih mengarah pada politik berbasis kekuatan nilai, yang dijangkarkan kepada tautan metafisik dengan segala sanksi moral dan penghargaan transendental di belakangnya. Tak ubahnya tema nilai yang diusung khas nabi-nabi Ibrani lainnya.
Demi tersampaikannya nilai-nilai ini, Muhammad SAW bukan sekadar berbicara sebatas wacana baik-buruk, sehat-sakit, indah-jelek, sederhana-bermegahan, melainkan langsung menjadikan nilai itu sebagai bagian integral dari perilakunya.
Keteladanan lebih dikedepankan ketimbang perbincangan. Falsafah politiknya bukan hanya menjadi "renungan", melainkan sekaligus "tindakan"; tidak sebatas "wacana", tetapi juga "aksi nyata". Contoh konkret menjadi strategi utama dalam menanamkan nilai-nilai politik itu dalam batang tubuh bermasyarakat.
Politik simbolik-imajiner yang terumuskan dalam senarai firman Tuhan (musyawarah, toleransi, lapang dada, keterbukaan, relasi antaragama, distribusi ekonomi, keadilan, kejujuran, transparansi, amanah, kecerdasan nalar) diturunkan menjadi "yang riil" melalui langkah-langkah konkret yang tampak dan jelas.
Inilah sisi kekuatan politik kenabian: politik karakter. Nilai-nilai kenabian seperti ini, meminjam telaah Mohandas K. Gandhi, dapat menghindarkan tujuh dosa sosial: politik nir-prinsip; kekayaan yang diraih tidak melalui kerja keras; bisnis defisit moralitas; kebahagiaan yang kehilangan nurani; pendidikan yang menanggalkan karakter; ilmu pengetahuan yang jauh dari humanitas; dan peribadatan yang terjebak pada formalitas.
Dalam melebarkan pengaruh politiknya, Nabi membangun basis dukungan yang solid tanpa harus menafikan yang "liyan", seperti terbaca dalam Piagam Madinah yang populer itu. Visi yang ditawarkannya berbasis pada upaya menanamkan kesadaran ontologis (menyangkut tujuan hidup) sekaligus aksiologis (berhubungan dengan peran dan posisi manusia).
Untuk direnungkan
Merenungkan politik nilai yang diusung Muhammad SAW hari ini—seperti tergambarkan dalam kitab-kitab "kelahiran Nabi", seperti Maulid Jawahir al-Nazm al-Badi' Fi Maulid al-Syafi' karya Syeikh Yusuf al-Nabhani, Kitab al-Yumnu Wa al-Is'ad Bi Maulid Khar al-'Ibad karya Ibn Ja'far al-Kattani, Itmam al-Ni'mah 'Ala al-'Alam Bi Maulid Saiyidi Waladi Adam karya Ibn Hajar Al-Haitami, dan al-Maulid al-Hana ditulis al-Hafiz al-Iraqi—bukan hanya perlu, melainkan satu keniscayaan.
Relevansinya itu terletak justru ketika kita hari ini lebih mengedepankan politik citra ketimbang logika, eksploitasi bukan emansipasi, ingar-bingar oleh semangat kebendaan bukan hikmat ketulusan, gaduh oleh politik perkauman yang serba eksklusif-intoleran bukan siasat kesemestaan yang berangkat dari roh kebersamaan.
Medan kehidupan harus dikembalikan lagi kepada nilai-nilai keutamaan. Slavoj Zizek (Robertus Robet, 2010) menyebutnya dengan "yang politik" (politik penuh adab) sebagai lawan dari "politik" (ricuh, dagang sapi, tanpa prinsip, transaksional, penuh cela, korup, munafik).
Meminjam analisis Hannah Arendt, "yang politik" menghajatkan pergulatan agar tak hengkang dari percaturan sosial dan ruangnya keburu diisi oleh "politik" yang serba kotor. Pergulatan ini bukan hanya ikhtiar menghindar dari sekapan keterasingan positif ala dialektika Hegel, keterasingan ekonomi serupa Marx yang bersumber dari sentimen kapitalisme, ataupun keterasingan religius berwujud wacana absolut keterlemparan kepada dosa. Namun, kita berkelit dengan cermat dari "keterasingan eksistensial" berupa abainya kita mewujudkan keadaban publik dan politik penuh adab karena hilangnya kita sebagai pribadi politik yang otonom, otentik, merdeka, dan independen sesuai dengan arus khitahnya.
"Yang politik" seharusnya jadi kiblat utama politik nasional dalam menghadapi tahun-tahun politik menjelang 2014. Politik kenabian dalam titik tertentu memberikan suplai berharga tentang "yang politik" itu.
Maulid adalah momen penting untuk menginjeksikan segenap nilai-nilai dalam sesuatu yang banyak berpengaruh bagi kelangsungan hidup kita: politik! Tanpa kesadaran ini, semua hanya sebatas menjadi sebuah upacara dan akhirnya politik kembali menjadi muslihat yang licik.
ASEP SALAHUDIN Esais dan Dekan di IAILM Pesantren Suryalaya Tasikmalaya, Jawa Barat
Sumber: Kompas, 24 Januari 2013
No comments:
Post a Comment