Dec 13, 2025

Sepenggal Catatan Kunjungan

Uncovering Passion for the Truth

SEKITAR satu bulan lalu saya berkesempatan "pulang" ke Indonesia. Ada tanda kutip di sana karena memang sebetulnya bukan pulang, melainkan "pergi". Sebuah kunjungan yang cukup singkat. Dengan misi tertentu. Organisasi tempat kami bernaung mengirim dua orang untuk mengunjungi local ministry partner di Surabaya dan para pengerja lini depan (PLD) di Jakarta. Awalnya, ada rencana untuk bertemu di Bandung. Akan tetapi, dengan pertimbangan efisiensi dan kemudahan transport bagi semua pihak, pertemuan disepakati di kota yang belum lama didaulat oleh UN/PBB sebagai the world's largest urban area. Ini hanyalah sepenggal personal account dari perjalanan bulan November itu.

Dua hari pertama di ibukota Jawa Timur diisi dengan meeting bersama tuan rumah dan seorang PLD yang melayani di Lombok NTB. Perawakannya tegap dengan tas kecil yang diselempangkan ke sisi. Janggutnya lebat mengalungi wajahnya. Belum menginjak kepala empat. Sorot matanya tegas, namun bisa bercanda dengan anak kecil. Di sana pria ini memimpin para leaders dari sekitar 22 gereja rumah. Lima hingga sepuluh orang per kelompok. Sudah berjalan 8 tahunan. Gereja rumah itu bertemu setiap minggu. Seperti gereja pada umumnya. Dulu, waktu masih di kota Bima, ia pernah harus mengungsikan istri dan anaknya dengan ketergesaan ke kota lain. Mereka mendapat kabar rumahnya akan dikepung massa. Tadinya ia berencana akan kembali lagi ke rumah untuk mengambil keperluan yang lain. Apa dinyana, massa sudah beringas ketika dia masih dalam perjalanan mengamankan keluarganya. Jadi hanya sehelai baju yang dikenakan yang ia bawa.

Hari ini, sembari membina dan mengkoordinasikan house churches, keluarganya menampung 18 orang dalam rumahnya. Sebagian besar orang-orang yang diusir (diisolasi) oleh keluarganya. Ada anak-anak juga tanpa orangtua. Saya sempat bertanya, bagaimana orang sebanyak itu bisa muat dalam satu rumah? Dimuat-muatin saja dengan partisi seadanya, ujarnya. Apabila Anda berjumpa dengannya, sangat mungkin tidak menduga bahwa ia adalah pemimpin dari lima generasi house churches dengan semangat penginjilan dan pemuridan yang luar biasa. Meskipun kerap menerima ancaman dari masyarakat sekelilingnya. Bahkan tidak mendapat dukungan dari pemimpin gereja-gereja lokal yang sudah established karena mereka takut kepada pihak berwenang.
 ~~~

SEBELUM meninggalkan kota Pahlawan, tak elak kami diarahkan mencicipi Bebek Goreng termaknyus yang Anda sudah tahu namanya. Disebut maknyus banget karena memang bumbu dan rempahnya itu lho. Meresap ke sedalaman dagingnya. Riuh menggoda lidah dan leleh dikunyah. Rekan saya yang bahasa ibunya Tagalog sampai minta nambah 2x. Meskipun setelah itu, dia agak... gimana gitu... setelah menyaksikan seekor makhluk bersayap coklat kemerahan dengan dua antena (dan bisa terbang tentunya) merayapi sambal botol di meja makan kami. Thankfully, penampakan itu terjadi pasca para bebek tak berdosa tadi bersemayam penuh kedamaian di perut kami.

Setiba di kota Seribu Mall, kami langsung tancap gas mengadakan pertemuan dengan tujuh PLD lain sepanjang pekan berikutnya. Ada pasutri. Ada father & son. Dan tiga pria usia paruh baya lanjut. Semuanya dari provinsi dengan penduduk terbanyak se-Nusantara. Sama seperti pria dari Lombok tadi, mereka pun secara penampilan, maaf, sama sekali tidak terduga seperti disciple atau bahkan pendeta yang aktif membagikan Kabar Baik. Tapi bukankah Allah berkata kepada Samuel untuk tidak melihat appearance-nya karena TUHAN melihat hatinya. Orang-orang yang kesaksiannya biasa kita simak hanya di video atau buku/majalah, tapi kali ini saya sendiri langsung berkomunikasi face-to-face dengan mereka. So real, spontan, dan unfiltered! Anda bisa menilai seseorang itu genuine ketika ceritanya amat detailed, mengalir tanpa harus dipikir, dan konsisten dengan kesaksian yang pernah ia buat sebelumnya dengan orang lain.

Dalam Ucapan Bahagia-Nya yang ke-8 dari atas bukit, Tuhan Yesus pernah bersabda: "Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga." Barangkali banyak dari kita tidak terlalu 'connect' dengan ayat ini karena tindakan penganiayaan... ya tidak eksis dalam hidup keseharian kita. Mungkin dianiaya secara verbal karena keyakinan kita, tapi itu pun jujur saja amatlah jarang Anda dan saya mengalaminya. Kalau pun ada, pastinya tidak sampai kita dituduh, ditahan polisi, lalu dimasukkan ke penjara hanya karena berpindah agama. Atau, dikucilkan, diusir, dan tidak diakui anak/saudara lagi oleh keluarga sendiri. Hal ini dialami oleh hampir semua dari para narasumber kami mengingat begitu ketatnya agama asal mereka itu menjaga agar tidak ada umatnya yang berpindah ke jalur "kafir".

Bukan cuma itu, kalau Anda sampai masuk penjara, sudah hampir pasti Anda akan dipukul. Oleh sesama tahanan di sel yang sama. Tak peduli apa kasusnya. Budaya dan kebiasaannya begitu. Mirip perpeloncoan atas napi baru. Ini diceritakan oleh seorang bapak yang dituduh "menista agama". Begitu gemetarnya ia sambil terus berdoa karena usianya yang sudah tak muda lagi. Pasti tidak akan tahan menerima pukulan. Puji Tuhan, saksinya, seorang polisi senior mendampingi ketika ia melangkah masuk ke selnya. Sang polisi memberi instruksi kepada semua napi di sana: "Awas, jangan sampai kalian pukul bapak ini! Nanti kau akan berurusan sama saya!" Ada begitu banyak kejadian rinci lainnya yang dia alami. Seperti harus berjalan jongkok seperti bebek ketika dipindahkan dari blok satu ke blok lainnya. Belum lagi ketika ada narkoba ditemukan di selnya. Semua tahanan diinterogasi satu-satu dalam satu barisan. Kalau tidak mengaku, akan dipukul! Pada kejadian ini, dari 12 orang di selnya, ia berdiri di paling ujung. Orang ke-11 mengaku sehingga ia selamat dari pukulan sang petugas. Betapa bersyukurnya ia. Tuhan meluputkannya ketika berseru dalam kesesakan kepada-Nya.

Lalu apa saja observasi dan pembelajaran yang saya petik dari lawatan ini? The fact that saya bertemu beberapa kelompok orang yang sedari awal tak terkait memberikan keyakinan bahwa kasus persekusi atas nama agama seperti ini memang kerap dan terus terjadi. Seperti tinggal menunggu waktunya saja terjadi. Bisa di mana pun di bentangan Sabang sampai Merauke. Banyak yang dipublikasikan, tapi lebih banyak lagi yang tidak terekspos ke permukaan.

Menariknya, alasan mereka bisa datang dan percaya kepada Kristus (yang masih mereka panggil Isa) itu cukup beragam. Ada yang melalui mujizat kesembuhan dan melihat lukisan Yesus dibarengi dengan panggilan yang amat kuat. Ini dialami oleh pasutri di atas. Ada pula yang melalui pembelajaran pribadi akan kitab suci agamanya yang lama. Lalu menemukan kebenaran yang lebih dalam yang mengantar mereka kepada Kristus. Sebelum kunjungan ini, saya juga bertemu dan berbincang dengan beberapa PLD yang menceritakan personal encounter dengan Kristus lewat mimpi dan serentetan peristiwa terpaut yang sulit untuk dianggap kebetulan biasa.

Walau datang dari konteks yang berbeda, one common factor yang saya amati dari mereka adalah mereka semua menjadi bersemangat dalam mengabarkan Kebenaran itu. Mereka amat rindu melihat teman dan sanaknya juga mengalami anugerah keselamatan yang sudah mereka terima. Inilah kenapa mereka masih mengenakan kerudung, peci, blangkon, dan perangkat busana seperti sebelumnya. Mereka ingin agar bisa terus berbaur dengan komunitasnya agar lebih mudah menyampaikan dan menjelaskan konsep Kekristenan dari sudut pandang kitab suci lamanya. Inilah yang, seriously, prompting me to be amazed. Yet at the same time letting out a heavy sigh karena banyak orang Kristen sendiri memandang rendah nilai pembelajaran Alkitab. Apalagi membaca dan mendalami dua kitab Suci dari agama yang berbeda.

Saya juga belajar bahwa datang berkunjung dan bertemu dengan narasumber secara langsung adalah sangat berguna untuk melihat secara kasat mata apa yg terjadi sesungguhnya. Amatlah berbeda bila dibandingkan dengan, misalnya, membaca laporan kesaksian mereka saja. Peran dari rekan sepelayanan lokal kami yang berpusat di Surabaya juga amat besar. Meskipun tim mereka kecil, tapi mereka mampu mendukung begitu banyak PLD di berbagai wilayah di Indonesia melalui advokasi secara legal, finansial, jejaring, maupun moral. Mereka pernah membantu mengadvokasi salah satu bapak di atas dalam kasus penistaan agama yang menjeratnya. Thank God berkat pengalaman, network, dan pengetahuan yang ada, vonis kepada sang bapak sebagai terdakwa menjadi "hanya" tujuh bulan penjara dari semula tuntutan 10 tahun. Tanpa harus membayar atau menyuap pihak manapun. Praise the Lord!

Angle terakhir yang saya amati adalah, berada dalam pelayanan di bidang ini, Anda juga harus membuka telinga lebar-lebar. Terkadang berperan menjadi konselor dalam permasalahan para PLD yang Anda support. Baik itu masalah relasi anggota keluarga, perizinan, mencari pekerjaan, akomodasi, dan sebagainya. Dengan kata lain, sesemangat apapun mereka dalam hal memberitakan Kabar Baik, mereka tetaplah manusia. Seperti Anda dan saya. Yang membutuhkan rasa aman dalam keluarga. Atap di atas kepala. Nasi dan lauk di atas meja. Pendidikan untuk anak, dst. You got the idea. Apakah kita yang hidup di tempat yang relatif aman dan nyaman pernah berpikir tentang sesama saudara seiman kita? Khususnya mereka yang terbelenggu, dipenjarakan, dan terkena aniaya (Ibrani 13:3 - TL). Do we also have the passion to receive the Word with great eagerness, examining the Scriptures daily to see whether these things were so (Acts 17:11 NASB). Mungkinkah ada seruan menyeruak dari dalam diri kita seperti Paulus: Celakalah aku, jika aku tidak memberitakan Injil (!) dan kemudian menyebarkan Kabar Sukacita itu. Baik atau tidak baik waktunya. Baik itu "pulang" maupun "pergi".  (EJ ─ 12/12/25)