Aug 14, 2025

Menajamkan Pikiran untuk Hidup Bermasyarakat


Lawan "Brain Rot" dengan Filsafat

Pernahkah konten kutipan penulis atau filsuf lewat di beranda media sosial Anda? Kalau iya, berarti Anda telah tersentuh filsafat.


Oleh Dwi AS Setianingsih

03 Feb 2025 08:00 WIB · Muda


MEMBACA buku menjadi kegiatan yang membutuhkan keterampilan tersendiri. Di era digital, orang akan lebih mudah terdistraksi saat membaca. Gawai berdenting sedikit saja, mata seketika bergeser ke layar. Saat itulah, brain rot atau pembusukan otak mengintai.

Penelitian Liverpool Health Inequalities Research pada 2010 menunjukkan membaca literatur memberikan keuntungan. Selain meningkatkan fokus, meningkatkan kesejahteraan individu dengan menumbuhkan rasa percaya diri sekaligus mengurangi isolasi sosial. Lewat membaca, seseorang akan berusaha untuk memahami isi buku sehingga menumbuhkan budaya berpikir

Hal itu bisa tercapai karena membaca membutuhkan kesabaran ekstra. Saat lebih mudah untuk menonton konten video pendek, memperhatikan detail informasi dalam sebuah buku dapat terasa menyulitkan. Pembusukan otak dapat terjadi akibat mengonsumsi konten receh di media sosial.

Menurut pelayanan kesehatan jiwa Newport Institute di Amerika Serikat brain rot dapat dicegah dengan mencoba kegiatan luring, berjejaring dengan orang secara langsung, dan memperkuat pikiran. Komunitas seperti Sekolah Filsafat Jalanan (SFJ) Bogor dan Circles Indonesia menawarkan hal tersebut. 

Salah satu pendiri SFJ, Aldi Dwi Laksono (30) dalam wawancara Selasa (21/1/2025) di Bogor, Jawa Barat mengungkapkan, berdasar pengamatannya, banyak mahasiswa mengenal filsafat saat sedang menggulir (scrolling) media sosial. Misalnya melalui kutipan populer filsuf Perancis RenĂ© Descartescogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada) dan kutipan God is Dead (Tuhan sudah mati) dari filsuf Jerman Nietzsche yang banyak berseliweran di media sosial.

Kutipan-kutipan populer tersebut, tidak dimungkiri dapat memantik rasa penasaran orang untuk mendalami dunia filsafat. Namun karena sadar bahwa membincangkan filsafat umumnya membuat orang membayangkan pembahasan yang berat, SFJ Bogor hadir sebagai komunitas atau ruang berdialog bagi para pelajar dan mahasiswa.

Secara terpisah, Ketua Komunitas Lingkar Filsafat Circles Indonesia, Dhimas Anugrah (43) menambahkan, belajar filsafat bisa dari mana saja, termasuk kehidupan sehari-hari. Kegiatan membaca teks filsafat menjadi lebih menyenangkan saat dilakukan bersama teman atau dengan orang yang punya ketertarikan serupa. Itulah hal utama yang digaungkan Aldi dan Dhimas melalui komunitas filsafat.

Pembahasan berat

Aldi menuturkan, bersama kedua kawannya, ia mulai menjalankan SFJ Bogor sejak 2018. Berangkat dari kesukaan terhadap pemikiran para filsuf, mereka merasa ada kebutuhan untuk berdiskusi lebih dalam. 

Perkumpulan itu panjang umur. Tujuh tahun lamanya mereka rutin berkumpul di ruang-ruang publik seperti di Bogor Creative Center. Sesuai namanya yang berupa sekolah, kegiatan SFJ biasa dimulai dengan membaca buku bersama lalu disudahi dengan bertukar pikiran. 

Salah satu pendiri Sekolah Filsafat Jalanan (SFJ) Bogor Aldi Dwi Laksono (tengah berkacamata) sedang berdiskusi dengan orang-orang yang datang ke kelas rutin SFJ di Bogor Creative Center (BCC), Sabtu (12/10/2024).
SEKOLAH FILSAFAT JALANAN BOGORSalah satu pendiri Sekolah Filsafat Jalanan (SFJ) Bogor Aldi Dwi Laksono (tengah) sedang berdiskusi dengan orang-orang yang datang ke kelas rutin SFJ di Bogor Creative Center (BCC), Sabtu (12/10/2024).

Satu persatu orang yang hadir akan diminta untuk membaca paragraf per paragraf satu bab buku. Biasanya, tema buku yang didiskusikan sudah diumumkan lewat poster undangan di Instagram @sekolah_filsafat_jalanan.

Contoh yang paling terbaru adalah mendiskusikan pemikiran Immanuel Kant tentang kritik atas akal budi murni. Pembahasannya berlangsung dalam rentang waktu berbulan-bulan, sejak Agustus hingga Desember 2024. Biasanya akan dimulai dari pengantar pemikiran filsuf, baru kemudian dilanjutkan dengan sari-sari pemikirannya. 

Saya rasa memang filsafat itu pijakan kita memahami banyak hal, cara kita belajar hidup elok.

Aldi menjelaskan kegiatan formal SFJ berlangsung selama dua jam. Jika peserta ingin berbincang lebih lanjut, "langsung dekati siapa saja!" ujarnya.

Tidak ada pemantik, tidak ada ketua. Setiap orang bebas bersuara. Setiap orang bebas datang dan pergi, sehingga SFJ Bogor belum memiliki anggota tetap.

Pengunjung membaca buku koleksi Perpustakaan Nasional RI di Jakarta, Jumat (27/5/2022). Membaca buku dapat menjadi detoks gawai.
Kompas/PriyombodoPengunjung membaca buku koleksi Perpustakaan Nasional RI di Jakarta, 27 Mei 2022.

Itulah salah satu kelemahan yang diungkapkan Aldi. Saat berkumpul, banyak orang terbiasa hanya mendengar. Sebaliknya, di SFJ, peserta perlu ikut membaca per kalimat. Syukur-syukur jika mau ikut berpendapat.

"Ternyata kan enggak gampang. Mungkin itu yang membuat orang-orang enggak lanjut datang," ungkap Aldi seraya tertawa kecil. 

Pengalaman lain diceritakan oleh Dhimas. Komunitas Lingkar Filsafat Circles Indonesia yang akrab disebut Circles ini merupakan salah satu wadah belajar filsafat terbesar dengan lebih dari tiga ribu anggota di seluruh Indonesia. Circle didirikan oleh Dhimas bersama empat kawannya pada tahun 2020 lalu. Tujuan mereka hanya satu, yakni menciptakan masyarakat yang bijaksana melalui pembelajaran filsafat.

Menurut Dhimas, berfilsafat adalah cara untuk manusia bisa hidup bermasyarakat. Seseorang dapat memahami mana yang benar dan salah dengan mempelajari filsafat.

"Saya rasa memang filsafat itu pijakan kita memahami banyak hal, cara kita belajar hidup elok," kata Dhimas, Rabu (29/1/2025).

Circles rutin mengadakan pertemuan satu minggu sekali secara daring. Pertemuan ini berbentuk diskusi dengan mengundang satu tokoh ahli sebagai narasumber. Dhimas pun menyebut setidaknya ada 300 anggota setia yang selalu hadir di kelas. Setiap kelas memiliki satu bahasan khusus, tidak jarang pula ada satu topik bahasan yang membutuhkan lebih dari satu kelas.

Circles tidak hanya membahas satu permasalahan dari aspek filsafat saja, tapi juga sering mengundang narasumber yang tepat di bidangnya. Seperti ahli sejarah, ahli kebahasaan, atau bahkan ahli lingkungan hidup. 

Dhimas selalu menekankan bahwa belajar filsafat itu menyenangkan. Oleh karenanya, ia memastikan siapa saja yang ingin belajar di Circles untuk tidak kesulitan. Mereka tidak dipungut biaya ataupun administrasi yang rumit. Untuk bergabung, cukup mengirim pesan ke laman Instagram @circles.education.

"Belajar filsafat harus fun, harus menyenangkan," ujarnya.

Landasan budaya luhur

Filsafat dalam arti terdalamnya adalah cara untuk hidup bermasyarakat. Dhimas menyebut filsafat sebagai ilmu kebijaksanaan.

Menurut Dhimas, filsafat seharusnya menjadi ilmu dasar yang diajarkan kepada semua masyarakat. Pasalnya, filsafat merupakan landasan dari segala budaya luhur yang ada, mulai dari berpikir kritis, gotong-royong, dan bahkan beretika. Oleh sebab itu, Dhimas sangat menyayangkan kondisi pembelajaran filsafat di Indonesia yang masih terasa minim.

Ia menyinggung kondisi masyarakat saat ini yang merasa takut ketika mendengar kata "filsafat". Filsafat sudah terisyarat sebagai hal yang memberatkan. Sebaliknya, menurut dia, filsafat seharusnya menjadi fondasi untuk hidup lebih baik.

Hidup baik itu seperti apa? Menjadi baik itu harus rasional, tahu apa yang ia lakukan, tahu apa yang ia pikirkan.

"Hidup baik itu seperti apa? Menjadi baik itu harus rasional, tahu apa yang ia lakukan, tahu apa yang ia pikirkan," jelas Dhimas terkait keutamaan berfilsafat.

Dhimas menyebut semakin maraknya konten filsafat di media sosial merupakan satu langkah baik untuk memopulerkannya. Tren ini menjadi momentum bagi masyarakat untuk menggempur fenomena brain rot.

Menggempur fenomena brain rot dengan filsafat memang bukan hal mudah. Kegemaran masyarakat untuk membaca harus dipupuk dengan cara yang konsisten sedari dini. Namun, dari cerita Aldi dan Dhimas, dapat kita lihat bahwa filsafat adalah ilmu keseharian yang sangat mudah untuk dipelajari.

"Banyak orang sudah berfilsafat walaupun tidak menyadari mereka sedang berfilsafat," tutup Dhimas.

Dua pengunjung membaca buku di salah satu ruangan yang ada di Perpustakaan Baca di Tebet, Jakarta Selatan, Sabtu (11/2/2023). Perpustakaan Baca di Tebet menjadi salah satu destinasi warga yang ingin menghabiskan akhir pekan di Jakarta. Lokasinya yang bertepatan di samping Jalan Tebet Barat Dalam Raya membuat lokasi ini strategis. Perpustakaan yang buka sejak Februari 2022 ini memiliki sekitar 20.000 buku yang tersimpan di sejumlah rak yang ada di setiap ujung ruangan. Untuk dapat menikmati puluhan ribu buku dengan suasana yang nyaman, para pengunjung dapat membayar Rp 35.000 untuk harian, Rp 100.000 per bulan untuk menjadi anggota bulanan, sampai anggota tahunan yang berbiaya Rp 600.000 untuk pelajar dan Rp 800.000 untuk umum. Fakhri Fadlurrohman (Z19) 11-02-2023
KOMPAS/FAKHRI FADLURROHMANDua pengunjung membaca buku di salah satu ruangan di Perpustakaan Baca di Tebet, Jakarta Selatan, 11 Februari 2023.


Catatan: Artikel ini merupakan kolaborasi dengan peserta magang harian Kompas, yakni Ammar Rezqianto, mahasiswa jurusan Jurnalistik, Universitas Padjadjaran dan Giofanny Sasmita, mahasiswi jurusan Jurnalistik, Universitas Multimedia Nusantara.

Sumberhttps://www.kompas.id/artikel/lawan-brain-rot-dengan-filsafat

Apr 30, 2024

Melik Nggendhong Lali

Tulisan ini muncul 368 hari sebelum Pemilu 2024 tanggal 14 Februari.

Pesan Punakawan
Kompas, 11 Februari 2023
Butet Kartaredjasa - Aktor

DI TENGAH gemuruh narasi-narasi besar, adakalanya kita perlu sesekali menyelam memunguti narasi-narasi kecil di ruang kebudayaan. Entah itu berupa pepatah petitih, peribahasa, kata-kata mutiara, ataupun pantun dan sebangsanya.

Saya kerap terpesona dengan pesan-pesan di lukisan kaca tradisional bergambar punakawan. Selalu sederhana, tapi menyengat. Setiap lihat lukisan kaca bergambar punakawan─Semar, Gareng Petruk, dan Bagong─ yang selalu diimbuh petuah bijak, ingatan langsung melambung ke rumah dinas budayawan UK, (almarhum) Umar Kayam, di Bulaksumur, Yogyakarta.

Tahun 1980-an bisa dibilang rumah itu seperti tempat bermuaranya mahasiswa, aktivis sosial, seniman, jurnalis dan para cerdik pandai. Tempat ngerumpi masalah sosial politik yang nyaman. Dan aman. UK menjadi magnet.

Di tengah percakapan yang kerap tumpang tindih, semua akan terhibur dengan senda gurau UK yang cerdas dan jenaka. Salah satu kejenakaan yang kerap ditulis di kolom-kolomnya, juga diceritakan dalam berbagai obrolan, adalah adegan dirinya berdialog dengan lukisan kaca. Pada salah satu dinding dekat kamar tamu tergantung lukisan kaca ukuran mungil dari Sastro Gambar, Muntilan.

Ada gambar Semar menuding di hadapan ketiga anaknya, Gareng, Petruk dan Bagong, dan di bagian atas tertulis "Sapa durung sholat" (Siapa belum sholat?). Setiap UK keluar dari kamar, dia akan selalu bersitatap dengan pertanyaan di lukisan kaca itu, "Sapa durung sholat, dengan sigap UK mengacungkan jari, "Kula!" ("Ya, saya!"), dan kami tertawa jika mengingat adegan ini. Lantaran muncul dua tafsir. Pertama, apakah UK segera ambil air wudu terus melaksanakan ibadah, atau sekadar basa-basi memberi pengakuan bahwa dirinya memang belum shalat.

Menjadi bumerang
Di sini terasa adanya daya sodok lukisan rakyat yang murah meriah itu. Lukisan bergambar para punakawan ini ternyata bukan hanya pelengkap elemen interior, tapi sekaligus pembawa petuah nasihat, dan wejangan. Bersumber dari kristalisasi pemikiran-pemikiran dan kearifan leluhur. Sari pati ilmu hidup yang dibagikan melalui cita rasa artistik.

Hari ini mungkin kita masih menemukan hal serupa di rumah-rumah di pelosok perdesaan Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur. Di teras kerap dijumpai sapaan hangat bertulis "Sugeng Rawuh" (Selamat datang). Di ruang tamu dalam. sering nongol kepingan adegan punakawan berhias pita dengan berbagai variasi tema.

Misalnya, "Aja Dumeh" yang artinya jangan mentang-mentang,
"Rukun Agawe Santosa" = Kerukunan membikin nyaman,
"Ajining Diri Seka Lathi" = Kehormatan bermula dari lidah,
"Melik Nggendhong Lali" = Kepemilikan bisa membuat lupa,
"Aja Nguntal Negara" = Jangan menelan negara, 
dan masih banyak lagi lainnya.

Yang mengusik, kenapa lukisan itu menggunakan material kaca? Kenapa meminjam karakter punakawan untuk menyampaikan pesan pepatah petitih yang sarat kearifan dan kebijaksanaan?

Saya menduga, dengan media kaca bening yang dilukis dengan cat di bidang kaca sebaliknya, tampilan karya itu jadi selalu bersih. Setiap kotor cukup dilap. Mudah perawatannya dibandingkan lukisan di atas kertas yang gampang rapuh digerogoti waktu. Agaknya, penggagas "berpetuah melalui lukisan kaca" itu punya keinginan supaya daya sengatnya berusia panjang. Bisa terwariskan secara turun-temurun.

Lihat saja, hampir semua wejangan, imbauan, dan petuah yang termaktub memuat nilai-nilai hidup yang hakiki. Yang substansial. Ingin selalu mengingatkan manusia sebagai orang. Bukan dewa. Bukan nabi. Bukan pemilik dan pemonopoli kebenaran. Bahwa manusia itu terbatas. Pantang meninggikan diri dan memanjakan kesombongan.

Kalau saja, misalnya, kita mematuhi saran punakawan "Ajining diri seka lathi" yang artinya kehormatan kita bermula dari lidah, kita akan hati-hati dan waspada mempermainkan lidah. Cermat bertutur kata. Berkata-kata tentu maknanya mengartikulasikan pikiran-pikiran, yang semestinya murni dari kesadaran intelektualitas. Bukan karena sihir setan ataupun bisikan iblis.

Hari ini ungkapan populer menyebut "mulutmu harimaumu". Terkadang justru mulut kita sendiri yang menerkam kita. Jadi bumerang yang balik menyerang, bahkan membongkar dan melucuti kepalsuan-kepalsuan yang selama ini bersembunyi aman di lubuk terdalam.

Penuh metafora
Dipinjamnya karakter punakawan sebagai alat menyampaikan pesan, saya kira juga melalui seleksi cermat. Mereka, para punakawan itu, adalah abdi, batur, jongosnya kesatria Pandawa. Tugasnya momong, mengasuh para kesatria. Mengingatkan supaya ketika kesatria itu jalannya melenceng mereka bisa kembali ke jalur yang diidealkan. Tugasnya menghibur dan menjewer dengan kelembutan. Itu pun dengan cara canda, guyon parikena. Penuh metafora dan semiotika. Punakawan akan mencubit, tapi yang dicubit tak akan pernah merasa sakit. Paling cuma geli menyeringai, sambil mengumpat dalam hati. Mereka mengkritik, tapi kritik itu, meski tajam menghunjam, tidak terpelanting menjadi ujar kebencian ataupun penghinaan. Untuk perkara ini, para kritikus sering mendadak bego, sulit membedakan perkara sederhana beginian. Punakawan yang merepresentasikan wong cilik pun selalu hadir menjunjung adab dalam memberikan koreksi-koreksi sosial.

Model sengatan punakawan pun akan berbeda ketika menghadapi aneka watak kesatria. Terutama kesatria Kurawa Astina yang kerap digambarkan temperamental, galak, baperan. Jurus-jurus sarkasme bisa diluncurkan, tapi tetap dalam koridor adab yang egaliter. Sialnya, jurus sarkastik yang keras akan lumpuh jika berhadapan dengan kesatria berbudi baik yang sejak awal sudah merendahkan dirinya. Tanpa perlu ditekan, direndah-rendahkan, ia sudah menyungkurkan dalam kerendahhatian seorang kesatria. Tapa ngrame. Bertapa dalam keramaian.

Rezeki personal
Hari ini ketika alam demokrasi membuka pintu selebar-lebarnya, dan media sosial sebagai buah dari perubahan kebudayaan (dari analog ke budaya digital) juga laksana mengizinkan seliar-liarnya orang menghamburkan opini, kita merenung: masihkah kearifan dan kebijaksanaan di lukisan-lukisan kaca itu berguna?

Saya sih percaya, zaman boleh berganti. Kebudayaan boleh beringsut. Tatanan sosial boleh dikoreksi. Aturan hukum boleh di-judicial review. Tapi, yang abadi dan sulit berubah adalah nilai-nilai kehidupan. Pesan yang menyodok melalui lukisan kaca itu dihayati sebagai intisari hidup yang membimbing arah perjalanan kemanusiaan kita. Ia telah melewati filter-filter dinamika hidup leluhur.

Pesan sederhana berbunyi "Melik nggendhong lali" yang digambarkan Petruk dengan busana mewah duduk di singgasana sambil memangku perempuan, sementara Gareng. Bagong, dan Semar panik mengingatkan perilaku itu, mewajibkan orang harus waspada dengan godaan gaya hidup hedonistik dan materialisme. Nafsu kepemilikan harta, takhta, dan kuasa acapkali menggelincirkan orang-orang (yang di publik terkesan) baik dan suci.

Sketsa Umar Kayam

Mereka yang hari ini menghuni penjara Sukamiskin dan kerangkeng-kerangkeng KPK, yang sebelumnya tercitrakan "orang baik dan suci", mungkin tak sempat merenungi nasihat punakawan bijak itu. Nasihat sederhana dan jleb banget.

Begitu pun nasihat yang tertuang dalam lukisan almarhum Maryono, Muntilan, Jawa Tengah, "Aja Nguntal Negara". Digambarkan Petruk dengan busana bangsawan nangkring di kursi sambil memegang globe bergambar kepulauan Indonesia, mulutnya menganga seperti ingin menelan negara, sementara Semar, Gareng, dan Bagong mencoba memberikan koreksi-koreksi sosial mengingatkan, tapi dicuekin. Pesan ini sangat gamblang. Siapa pun yang duduk di takhta birokrasi dan politik janganlah rakus ingin menelan negara. Jangan menganggap APBD dan APBN sebagai kekayaan dan rezeki personal yang bisa dihambur-hamburkan seenak udel-nya.

 

Maka, kalau hari ini ribuan orang sedang ancang-ancang ingin naik takhta menjadi anggota legislatif, bupati, wali kota, gubernur, wakil presiden, dan presiden, harapan saya mereka jangan ragu-ragu memajang lukisan "Aja Nguntal Negara" di rumah masing-masing. Supaya setiap bangun tidur, mereka bersitatap dengan lukisan rakyat itu, dan seperti budayawan UK, langsung mengacungkan jari dan dengan tangkas menjawab, "Noninjih. Siap!!"─"Iya. Siaaap!!!" Siap untuk tidak menelan negara.  (Butet Kartaredjasa)



Aug 17, 2021

Proklamator Pembaca dan Penulis

Kisah Soekarno dan Hatta yang Gandrung Menulis 
Kompas.com - 17/08/2021, 11:01 WIB

MENULIS bukan hal yang asing bagi Soekarno dan juga Mohammad Hatta. Malahan founding father ini sudah mengakrabinya sejak usia muda dan punya waktu khusus untuk melakukan aktivitas itu. Sejak ngekos di rumah HOS Tjokroaminoto, yang merupakan Ketua Sarekat Islam, Soekarno beruntung punya privilege untuk membaca buku-buku milik Tjokroaminoto. Hal itu ia ungkapkan dalam otobiografi Soekarno berjudul "Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia". Buku-buku yang dianggapnya berharga itu rupanya membuka wawasan Soekarno, ia pun mulai aktif menuangkan pemikirannya melalui tulisan.

Artikel pertama Soekarno kemudian terbit pada 21 Januari 1921 di halaman depan koran Oetoesan Hindia milik Sarekat Islam. Soekarno bahkan kemudian diminta untuk menulis rutin di koran itu menggantikan Tjokroaminoto. Kira-kira ada 500 tulisan Soekarno yang dimuat di koran itu. Itu belum termasuk tulisan Soekarno yang juga tersebar di media massa lainnya, seperti Soeloeh Indonesia Moeda dan Fikiran Ra'jat. Beberapa tulisan terkenal pun lahir dari tangan Soekarno, seperti Nasionalisme, Islamisme & Marxisme, Indonesia Menggugat, Mencapai Indonesia Merdeka, Kepada Bangsaku, dan Konsepsi Presiden.

Dalam buku Soekarno "Paradoks Revolusi Indonesia" terbitan Tempo, diceritakan kalau Soekarno bahkan punya nama pena yang sering ia pakai dalam tulisan-tulisannya, yaitu Bima. Kecintaannya pada tokoh pewayangan Bima yang kemudian membuatnya memilih nama itu. Bima dikisahkan memiliki karakter kesatria yang pemberani dan jujur. Tapi bukan hanya karena kagum, Soekarno memakai nama samaran untuk menghindari penangkapan pemerintah Belanda. Minat menulis Sukarno tak hanya berkutat pada ranah politik. Buktinya, saat di diasingkan di Ende, Soekarno justru produktif menulis naskah drama. Terhitung ada sebanyak 12 naskah drama yang dibuatnya, di antaranya misalnya saja Dokter Setan yang terinspirasi cerita film Frankenstein, Rahasia Kelimutu, Rendo, Jula Gubi, KutKuthi, Anak Haram Jadah, Maha Iblis, dan Aero Dinamit.

Tak berbeda dengan Soekarno. Mohammad Hatta, Wakil Presiden RI pertama ini bahkan punya jadwal di atas rata-rata manusia untuk membaca dan menulis. Bayangkan saja, saban harinya, kalau tak ada acara lain, jadwal baca-tulisnya mencapai 9 jam sehari! Waktu itu dibagi menjadi dua, enam jam pagi hari dan tiga jam petang hari. Jadi ya wajar saja, saat karyanya dikumpulkan dan diterbitkan kembali, perlu 6000 halaman buku berukuran 18 cm x 26 cm. Dan semua tulisannya itu, harus dibuat berangkai dalam 10 jilid.   Gaya bahasa dalam tulisan Hatta sendiri dikenal indah, kalimatnya pendek-pendek sehingga mudah dimengerti. "Memang Bung Hatta selalu sibuk dan setiap hari membenamkan diri dalam kamar studinya di perpustakaan untuk membaca dan menulis," ungkap Ny. Rahmi Hatta, istri Mohammad Hatta seperti dikutip dari buku Mohammad Hatta: Sisi Kehidupan Pribadi terbitan Kompas. Ratusan buah pikiran Hatta yang tertuang dalam tulisan memang tak lepas dari buku-buku yang selama hidupnya ia baca. Sampai-sampai ketika ia kecil, hanya ada tiga macam barang yang ia butuhkan; sepeda untuk mengunjungi teman-temannya, lemari untuk menyimpan buku, dan sebuah jam tangan, karena ia sangat sangat disiplin dan tepat waktu.

Waktu akan pulang ke tanah air usai merampungkan studinya di Sekolah Dagang di Rotterdam, Belanda koleksi buku yang akan ia bawa pulang pun berjibun. Tiga orang, yaitu Sutan Sjahrir, Rasjid Manggis, dan Sumadi membantunya untuk mengemas buku-buku itu. Total ada 20 peti dan butuh seminggu untuk mengumpulkan, menyusun, dan mendaftar buku-buku itu. Hingga akhir hayatnya, koleksi buku Bung Hatta mencapai 10.000 buku dan yang paling tua tahun 1850. Kini koleksi itu tersimpan rapi di perpustakaan keluarga.

Sumber: Kompas, 17 Agustus 2021
Penulis : Kontributor Sains, Monika Novena
Editor : Bestari Kumala Dewi