Satu Abad Kebangkitan Nasional
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO |
Kompas, James Luhulima
Pembentukan Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908, 100 tahun lalu, dianggap sebagai langkah awal menuju lahirnya semangat kebangsaan Indonesia. Itu sebabnya, hari lahir Boedi Oetomo juga diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional.
Memang semangat kebangsaan pada tahun 1908 itu belumlah dalam pengertian seperti semangat kebangsaan Indonesia sebagaimana yang dipahami pada tahun 1945 ketika kemerdekaan Indonesia diproklamasikan.
Tentang kebangsaan Indonesia itu digambarkan secara menarik dalam perdebatan antara Sutan Takdir Alisjahbana dan Sanusi Pane di dalam buku Polemik Kebudajaan yang diterbitkan Perpustakaan Perguruan Kementerian PP dan K Djakarta, 1954.
Sanusi Pane mengatakan, "Tuan STA menjebut, bahwa dalam zaman Modjopahit, Diponegoro, Teungku Umar, belum ada ke-Indonesiaan. Pikiran ini kurang benarnja pada pendapatan kami. Ke-Indonesiaan pada waktu itupun sudah ada, ke-Indonesiaan dalam adat, dalam seni. Hanya natie Indonesia belum timbul, orang Indonesia belum sadar bahwa mereka sebangsa".
Pada masa itu, semangat kebangsaan barulah pada tingkat semangat beberapa mahasiswa STOVIA asal Jawa untuk melepaskan diri dari penjajahan Belanda melalui cara-cara damai, dengan antara lain memperjuangkan kemajuan pendidikan.
Memang di STOVIA pada masa itu sudah ada mahasiswa yang datang dari luar Pulau Jawa, seperti Sumatera, Ambon, Manado, dan Timor. Namun, karena pada waktu itu faham kebangsaan Indonesia belum dikenal, mahasiswa-mahasiswa itu tidak dilibatkan dalam pembentukan Boedi Oetomo. Adalah Tjipto Mangoenkoesoemo yang kemudian meluaskan perhatian Boedi Oetomo, sehingga tidak lagi hanya dipusatkan kepada orang Jawa, tetapi juga kepada semua penduduk Hindia Timur Belanda. Dan, menurut Akira Nagazumi dalam buku The Dawn of Indonesian Nationalism: The Early Years of the Budi Utomo, 1908-1918 (Institute of Developing Economies, Tokyo, 1972), yang pantas dicatat dari Boedi Oetomo adalah antara lain organisasi itu terbebas dari prasangka keagamaan dan kebekuan tradisionalisme.
Boedi Oetomo dapat dianggap sebagai pendahulu dari pergerakan kebangsaan yang muncul dengan lahirnya Nationale Indische Partij pada tahun 1912 dan Sarikat Islam tahun 1913.
Proses yang panjang
Semangat kebangsaan tidak tumbuh dalam satu malam, tetapi melalui proses perjalanan yang panjang. Semangat kebangsaan Indonesia menajam dengan diikrarkannya Soempah Pemoeda pada 28 Oktober 1928, dan mencapai puncaknya pada proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945.
Dalam Mukadimah Undang- Undang Dasar 1945 ditegaskan, "... membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia…."
Kata "segenap bangsa Indonesia" menjadi kata kunci mengingat negara ini bukan dibuat untuk satu golongan saja, melainkan untuk semua orang yang tinggal di negara Indonesia tanpa memandang suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Semua pihak mempunyai sumbangan sendiri-sendiri bagi kemerdekaan Indonesia. Itu pula sebabnya, Indonesia menjadikan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan, biarpun berbeda-beda tetapi tetap satu.
Atas dasar kesepakatan itulah Indonesia dibangun dan dapat bertahan melawan aksi polisionil Belanda pada tahun 1947 dan 1949 serta memperoleh kemerdekaannya secara utuh melalui Konferensi Meja Bundar pada tahun 1949.
Harus terus diperkuat
Namun, semangat kebangsaan itu tidak statis, tetapi harus terus dipelihara dan diperkuat dari waktu ke waktu mengingat generasi berikutnya (yang lahir setelah Indonesia memperoleh kemerdekaan) tidak memiliki pengalaman yang sama dengan apa yang dilalui para pendiri bangsa ini. Mereka menerima kemerdekaan Indonesia sebagai sesuatu yang sudah ada. Karena itu, mereka cenderung meremehkannya, bahkan beberapa pihak mencoba mengutak-utiknya dengan mengemukakan berbagai argumen sebagai alasan.
Pada masa pemerintahan Orde Lama yang dipimpin Presiden Soekarno, asas keseimbangan SARA sangat diperhatikan. Para menteri datang dari berbagai suku bangsa sehingga "pertarungan" berbagai putra daerah berlangsung pada panggung nasional.
Pada masa pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto, asas keseimbangan itu seakan terabaikan. "Pertarungan" putra daerah berlangsung pada tingkat provinsi dan mulailah "nasionalisme" lokal bermunculan. Antara lain muncul tuntutan agar kepala daerah (gubernur) haruslah putra daerah karena mereka tidak melihat adanya peluang untuk bertarung pada tingkat nasional.
Bukan itu saja, gaya komando seperti yang berlaku di kalangan militer yang coba diterapkan untuk memelihara kebangsaan Indonesia, seperti pemaksaan Pancasila sebagai asas tunggal dan pengajaran (indoktrinasi) Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), justru menumbuhkan "perlawanan" terselubung pada beberapa kelompok masyarakat.
Padahal, semangat kebangsaan Indonesia yang salah satu unsur terpentingnya adalah toleransi, atau sikap saling menghormati, seharusnya ditumbuhkan dan dikembangkan sesuai dengan tingkat kematangan masyarakat. Pemaksaan kehendak hanya akan membuat sikap saling menghormati yang terbentuk itu semu dan tidak langgeng.
Dan, berakhirnya masa Orde Baru seakan membuka kotak pandora dan semangat kebangsaan Indonesia yang diletakkan pada tahun 1945 menjadi taruhan. Keinginan untuk memisahkan diri mulai disuarakan, pembakaran rumah ibadah terjadi di sejumlah tempat, dan sekelompok orang diusir keluar dari desanya dan tinggal di tempat pengungsian hanya karena meyakini kepercayaan yang berbeda. Dapat dipastikan bahwa itu bukanlah suatu pemandangan atau keadaan yang diinginkan para pendiri bangsa ini.
Pemerintah harus berbuat sesuatu untuk mengatasi keadaan itu, dan bukan malah membuatnya menjadi semakin parah. Tidak berarti pemerintah harus bekerja sendirian, pemerintah bisa saja mengajak semua unsur masyarakat yang diharapkan dapat membantu mengatasi keadaan itu. Yang diperlukan dari pemerintah adalah memimpin di depan untuk sesegera mungkin menyelesaikan keadaan sebelum menjadi tidak terkendali.
Sultan Hamengku Buwono X dalam buku Merajut Kembali Keindonesiaan Kita (PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007) menyebutkan, masalahnya adalah bagaimana mengaktualisasikan simbol Bhinneka Tunggal Ika—yang biarpun berbeda tetapi tetap satu itu—ke dalam konteks yang benar.
Peringatan 100 tahun Kebangkitan Nasional harus dijadikan awal mula sebagai langkah untuk mengembalikan semangat kebangsaan seperti yang diletakkan pada awal negara ini didirikan. Dengan demikian, Indonesia dapat menjadi "rumah" yang aman dan nyaman bagi kita semua. ***