Pojok Tanah Air
...
Oleh Jannes Eudes Wawa
Tionghoa selalu diidentikkan dengan hartawan. Akan tetapi, adagium itu terpatahkan di Bangka. Di sana, komunitas ini tidak semata-mata terdiri atas pemilik modal. Banyak warga Tionghoa yang hidupnya berada di bawah garis kemiskinan.
Mereka menjadi buruh tani, nelayan, sopir angkutan umum, buruh angkut barang di pasar, dan sejenisnya. Salah satu contoh di Kampung Gedong, Kecamatan Belinyu, Kabupaten Bangka Tengah. Di daerah itu hidup sekitar 80 keluarga Tionghoa yang 80 persen di antaranya bekerja sebagai petani lada dan karet. Sisanya menjadi nelayan dan buruh penambangan timah.
"Sudah lebih dari tujuh generasi warga Tionghoa yang hidup di Kampung Gedong bekerja sebagai petani dan nelayan. Kami memiliki tanah yang ditanami lada dan karet, tetapi sulit diandalkan untuk menopang hidup karena harga karet dan lada selalu rendah," kata Chong Kong Phen (32), warga Gedong yang sehari-hari menjadi petani dan penambang timah, Senin (8/2).
Rumah yang dimiliki warga setempat umumnya berdinding papan dan beratap genteng. Bangunan itu nyaris tidak pernah direnovasi selama puluhan tahun sehingga di beberapa bagian dinding mulai rusak dan atap pun bocor. Perabot rumah juga seadanya saja. "Keinginan merenovasi rumah selalu terkendala biaya. Uang yang didapat selalu habis untuk kebutuhan pokok, terutama makanan, dan membiayai kebutuhan anak sekolah," ujar Chong.
Tjhory (57), warga di Desa Rebo, Kecamatan Sungai Liat, Kabupaten Bangka Induk, juga mengakui bahwa dirinya melanjutkan pekerjaan sebagai nelayan dari bapak dan kakeknya. Kini, profesi itu diteruskan dua putranya, Een (30) dan Wewan (21).
"Semua pekerjaan sama-sama terhormat. Sekarang tergantung pada diri masing-masing. Kalau kita jalankan dengan tekun dan serius, pasti ada manfaat bagi keluarga dan diri sendiri. Makanya, saya tetap bangga menjadi nelayan," tutur Tjhory.
Begitu banyak warga Tionghoa di Bangka yang berprofesi sebagai petani dan nelayan membuat hubungan dengan masyarakat dari komunitas lain, seperti Melayu, pun berlangsung terbuka, harmonis, dan cair. Kecemburuan sosial akibat faktor ketimpangan ekonomi nyaris sulit bertumbuh dan berkembang.
Jumlah warga Tionghoa di Provinsi Bangka Belitung sekitar 32 persen dari total penduduk sebanyak 1,1 juta jiwa. Mayoritas mereka penganut Konghucu, disusul Buddha, Katolik, Kristen, dan Islam.
Desa Rebo memiliki 600 kepala keluarga (KK) dan 560 KK di antaranya warga Tionghoa. Sekitar 450 warga Tionghoa setempat berprofesi sebagai nelayan.
Ada juga pendapat yang menyebut warga Tionghoa hadir di Bangka sejak awal 1960-an. Mereka dibawa oleh penjajah Belanda untuk bekerja di tambang timah. Kelompok ini bukan kaum pedagang, melainkan pekerja kasar. Setelah lama bekerja di Bangka, mereka memilih menetap dan melahirkan keturunan yang terus hidup di pulau tersebut hingga saat ini.
Begitu mengakarnya kehadiran warga Tionghoa di Bangka membuat komunitas ini pun dianggap sebagai bagian terpenting dari masyarakat wilayah itu. Salah satu fakta adalah penulisan nama jalan di Bangka yang menggunakan tiga bahasa, yakni Indonesia, Tionghoa, dan Arab.
Setelah sukses di perantauan, warga Tionghoa Bangka tidak lupa daratan. Banyak di antara mereka menyisihkan sebagian penghasilan untuk membantu warga di Bangka.
Pembangunan kelenteng di Desa Rebo, Kecamatan Sungai Liat, Kabupaten Bangka Induk, yang menghabiskan dana sekitar Rp 2 miliar, misalnya, sekitar Rp 1,85 miliar di antaranya sumbangan dari warga Tionghoa asal Desa Rebo di perantauan. "Tanpa bantuan mereka, kelenteng ini pasti tak bisa dibangun," ujar Tet Fu (57), tokoh masyarakat Tionghoa di Desa Rebo.
Beginilah warna-warni kehidupan warga Tionghoa di Bangka.
Sumber: Kompas, 3 Juni 2010