Seni Sebagai Kebutuhan
udar rasa
Allah Yang Hidup
Garin Nugroho
Di tengah kesibukan berlatih musikal Opera Jawa dengan tema "dunia jungkir balik, semua tidak pada tempat dan perannya", banyak dering telepon meminta menjadi anggota legislatif. Saya lebih tertarik mendengarkan gamelan maestro Rahayu Supanggah sembari membuka catatan harian saya berkait politik, seni, dan religiusitas. Terlebih di tengah situasi Paskah dan pemilihan legislatif. Timbul pertanyaan: apa guna perayaan agama di situasi sosial politik hari ini?
Saya membuka catatan harian beberapa tahun lalu ketika diundang mengikuti upacara Paskah di Pulau Procida, Italia, dan memenuhi undangan Paus Benediktus XVI bersama 100 seniman dunia, untuk memperingati 45 tahun pertemuan Paus Paulus VI dengan seniman dunia.
Upacara Paskah Procida, pulau kecil di depan Napoli, dipenuhi ratusan ribu manusia layaknya sebuah teater besar. Saya berjalan mengikuti tubuh Kristus mengelilingi pulau kecil itu, di tiap lintasan, ratusan ribu manusia sejenak sunyi, diam, dan khusyuk. Catatan harian saya memberi garis bawah pertanyaan: di era teater besar politik sekarang ini, masihkah kita punya kepemimpinan politik yang memberi warga aulia khusyuk, khidmat, dan hormat?
Kenyataan menunjukkan, teater besar politik hanya memunculkan politik serba cemas, hiruk-pikuk yang tidak membangkitkan, menyisakan politik banal saling serang tanpa panduan kepemimpinan.
***
Paskah sebagai teater tubuh Kristus selalu menyisakan inspirasi tentang satu hal: Allah Yang Hidup. Yakni bahwa ukuran politik dalam negara ber-Tuhan dan ber-Kepercayaan, selalu pada kerja pelayanan memberi kebangkitan manusia sekitarnya. Inilah model politikus yang ditunggu hari ini.
Celakanya, politik layaknya kondisi keagamaan dewasa ini. Ukuran keagamaan lebih pada hubungan simbolis dengan Tuhan, warga diajak pemimpin ramai-ramai menggerakkan tangan memohon, tetapi tangan tidak lagi melayani kehidupan manusia sekitarnya. Demikian juga dalam politik, politikus lebih pada pelayanan kekuasaan politik untuk keselamatan diri. Alhasil, bangsa dipenuhi politik kekuasaan dan doa, tetapi kemanusiaan kehilangan daya hidup.
Mengikuti upacara Tubuh Kristus, terasa mengisyaratkan bahwa para pemimpinlah yang seharusnya melakukan jalan salib memikul beban. Namun, simaklah berita hari ini, dipenuhi politik kasus, DPR berebut fasilitas, perkelahian aparat, hingga kecemasan kekuasaan. Pada akhirnya, politikus tidak lagi memikul beban, tetapi membebani rakyat. Sebuah ironi demokrasi.
***
Dalam pertemuan dengan Paus Benediktus XVI, Paus berpesan bahwa seni bukanlah kebutuhan ketiga, tetapi seperti kebutuhan lain, seni mengelola keindahan lewat rasa halus kemanusiaan, pendorong daya hidup dan kesadaran pelayanan meski lapar sekalipun.
Buku harian saya di tanggal itu mencatat: "Pancasila lahir karena pemimpin yang berbudaya. Sebutlah, Muhammad Yamin yang dijuluki Bapak Soneta, atau simaklah kecintaan Soekarno pada seni dan senimannya. Sesungguhnya, bapak bangsa yang melahirkan Pancasila tidak hanya politikus, tapi juga budayawan. Menjadikan mereka mempunyai rasa susastra tinggi. Rasa halus terhadap kemanusiaan".
Hari ini, sambil menikmati foto-foto Michelangelo di atap kapel Sinista tentang derita dan keselamatan, saya merasa gelisah karena tak cukup banyak politikus yang menonton seni kualitas tinggi, kecuali seni massal untuk popularitas. Maka, saya yakin pula, dengan kualitas politikus seperti ini, sekiranya Pancasila ditawarkan hari ini, dia tak akan pernah lahir.
"Allah Yang Hidup" hanya lewatkah Engkau?
Sumber: Kompas, 31 Maret 2013
No comments:
Post a Comment