Subordinasi Wanita dalam Damar Wulan
Beni Setia
TOKOH paling mengemuka dalam cerita Damar Wulan, suka atau tak suka, adalah sang antagonis Minak Jingga. Dia hadir sebagai tokoh mahaperkasa, raksasa, dan dikontraskan dengan dua istri yang subordinan dan punakawan klemar-klemer kewanita-wanitaan, Dayun. Keperkasaannya dimanifestasikan dengan pusaka gada Wesi Kuning--representasi lingga--senjata mematikan, sekaligus bagi pemilik bila senjata itu berpindah majikan.
MENARIK sekali prosesi berpindahnya kepemilikan Wesi Kuning dari Minak Jingga ke Damar Wulan. Simbol kelelakian itu dicuri dan dialihkan kedua istri Minak Jingga yang terpikat kehalusan budi Damar Wulan-semacam pemberontakan pada dominasi lelaki kasar dan urakan, semacam penolakan Sinta pada Rahwana, dan penentangan Dewi Supraba pada Nilakawaca. Tampaknya di balik cerita Damar Wulan ini ada pendidikan perilaku halus mriyayeni khas Jawa.
Dengan kata lain, apa tidak mustahil tema sampingan-bila tidak cukup pantas diakui sebagai tema utama-Damar Wulan adalah upaya komparasi terhadap eksistensi lelaki ideal yang pantas dipertuan di Majapahit? Setidaknya lelaki tipe Arjuna, yang memuaskan di pembaringan dan dalam pergaulan sosial, karena secara trah penguasa Majapahit pada masa itu harus wanita bila mengikuti fakta Ratu Majapahit dalam cerita Damar Wulan, Prabu Kenya-dalam cerita biasanya disebut Kencana Wungu-dikaitkan dengan Suhita. Karena itu, Brandes mengaitkan peperangan antara Majapahit dengan Minak Jingga ini dengan Perang Puregreg. Sedangkan ilmuwan lain mengaitkan sosok Ratu Majapahit itu dengan Tribhuwanottunggawijayaawisynuwardhani, dan cerita tentang Perang Blambangan dikaitkan dengan peristiwa Perang Sadeng (lebih lengkapnya lihat CC Berg, Penulisan Sejarah Jawa, Bhratara Karya Aksara, Jakarta, 1985, halaman 90-92).
Oleh karena itu, tidak terhindarkan kesan komparasi dan penonjolan keutamaan Damar Wulan yang asal-usulnya disembunyikan dan tetap tersembunyi sebelum akhirnya terbuka di puncak kemenangan. Bahwa Damar Wulan itu anak dari Patih Udara, pemimpin Majapahit yang pergi bertapa sehingga kedudukannya diganti Patih Logender. Sejak kecil Damar Wulan dididik hidup prihatin dan santun oleh kakeknya sehingga ketika nyantrik dan ngenger di rumah Patih Logender, dia tidak kaget ketika diterima sebagai tukang kuda. Kontras dengan Layang Seta dan Layang Kumitir yang cuma bisa hura-hura memanfaatkan fasilitas jabatan ayah. Di titik ini, sekaligus mereka berbeda dari Minak Jingga yang sewenang-wenang berdasarkan kekuatan sendiri.
KOMPARASI dan kontras itu dimulai dari fakta Patih Udara mundur, melepaskan diri dari fatamorgana kekuasaan dunia dan masih tetap memegang wibawa pemimpin dan pamor kekuasaan. Setidaknya, kalau dibandingkan dengan Patih Logender, tokoh yang ketiban pulung memegang kekuasaan, tetapi tidak memiliki wibawa pemimpin dan pamor kekuasaan, sehingga kraton dipenuhi pamong yang pandai menjilat dan cuma memperjuangkan kepentingan golongan dan pribadi. Puncaknya, terutama ketika ada ancaman aneksasi oleh Blambangan dengan kedok lamaran Minak Jingga. Jalan keluar dari krisis itu menggelikan, yaitu menyelenggarakan sayembara. Dengan kata lain, memberikan kerajaan dan dirinya kepada sembarang lelaki yang mampu mengalahkan Minak Jingga. Jalan keluar yang mengelucak harga diri.
Oleh karena itu, fakta sayembara berhadiah "takhta dan wanodya" ini menunjukkan adanya sebuah fenomena besar di belakang layar. Bahwa Kencana Wungu tak bisa lagi mempercayai pamong dan prajuritnya, sekaligus menggarisbawahi sosok Kencana Wungu yang subordinan meski secara politik dia pemegang kekuasaan tertinggi. Karena itu dia membutuhkan lelaki gentleman, sang Arjuna yang mriyayeni, yang bisa mengayomi dirinya dan banyak wanita lainnya, bukan lelaki perkasa urakan semacam raksasa dalam diri Minak Jingga. Karena itu, seluruh keperkasaan kasar Minak Jingga-episode Minak Jingga gandrung yang interaktif komik dengan Dayun yang mbanceni selalu jadi adegan fragmen favorit lakon Damar Wulan-kontras dengan ketidakberdayaan Kencana Wungu.
MANIFESTASI dari pukau kelelakian Damar Wulan terbukti dengan (a) terpukaunya Anjasmara, putri Patih Logender dan adik dari Layang Seta dan Layang Kumitir, sehingga mereka terpaksa harus mengangkat derajat Damar Wulan agar adik mereka dan diri mereka tak terbenam ke dalam fakta bermenantukan dan beradik ipar tukang kuda. Dan, (b) luluh dan terpukaunya kedua istri Minak Jingga sehingga selain menghidupkan kembali Damar Wulan, mereka juga mencuri gada Wesi Kuning Minak Jingga sehingga Minak Jingga bisa dikalahkan Damar Wulan dan Blambangan tetap di bawah hegemoni Majapahit. Pengkhianatan kepada suami dengan jaminan mereka akan diperistri lelaki sejati yang tidak akan menyia-nyiakan mereka sebagai istri kedua dan ketiga, dengan Anjasmara sebagai istri pertama. Bahkan, akhirnya, ketiga wanita itu cuma berstatus selir karena istri utama Damar Wulan adalah Kencana Wungu, si Ratu Majapahit.
Dengan kata lain, puncak manifestasi pukau kelelakian Damar Wulan itu ada pada fakta dan fenomena terpanggilnya ia oleh situasi negara yang lemah dengan menerima tantangan (sayembara) mengalahkan Minak Jingga. Peperangan ini seharusnya beraras antarnegara dengan peserta negara taklukan Majapahit dan/atau negara merdeka yang mau berperang melawan Blambangan, bukan peperangan personal antarindividu Damar Wulan melawan Minak Jingga sehingga momen perpisahan kasmaran antara Damar Wulan dan Anjasmara jadi fragmen sentimentil favorit dari lakon Damar Wulan.
Damar Wulan terpanggil menjadi lelaki utama Majapahit dan berbeda dengan lelaki Majapahit lainnya. Keutamaan semacam ini yang menyebabkan Damar Wulan dianggap pantas bersanding dengan Ratu Kencana Wungu, bahkan diakui dan disadari para wanitanya sehingga mereka ikhlas menjadi wanita pendamping, wanita yang menjadi pengantar ke gerbang kemuliaan, kalau kita memakai terminologi Ibu Inggit pada sosok Soekarno.
Kelengkapan itu-satu wanita utama dan tiga wanita terpilih-menjadikan Damar Wulan lelaki Jawa utama. Sekaligus komparasinya dengan empat lelaki terpuruk-derajatnya kasar-perkasa-berkuasa, halus- kosong-berkuasa (memanfaatkan fasilitas jabatan orangtua), dan lemah-subordinan-mbanceni-membuat kita tiba pada hipotesis tentang motif di balik "penulisan" cerita Damar Wulan. Yakni, situasi Majapahit yang kacau karena kelemahan kepemimpinan ratu wanita yang mendorong kerinduan masyarakat pada kehadiran lelaki utama.
Masyarakat muak dan jenuh dengan pamong lelaki yang oportunistik mementingkan keuntungan golongan dan pribadi, sekaligus masyarakat lelah dengan kepemimpinan ratu wanita yang lemah, yang hanya bisa menangis dan tersenyum. Padahal senyum bisa dimanifestasikan sebagai kelembutan di balik ketegasan mengamalkan kekuasaan-"Westerling pun tersenyum," kata Iwan Fals dalam lagu Pesawat Tempurku-dan bukan sebuah pertanda ketakberdayaan. Memang.
Beni Setia - Penyair dan Cerpenis
Sumber: Kompas, 25 Agustus 2003
1 comment:
Okey... Broo suwuN
Post a Comment