Jul 31, 2012

Pengaruh Sistem Keuangan terhadap Tingkat Korupsi

Baru tahu ada dua macam sistem penggantian di Indo :)

KORUPSI

Minimalkan dengan Sistem "At Cost"

Jakarta, Kompas - Untuk meminimalkan korupsi perjalanan dinas, Komisi Pemberantasan Korupsi menerapkan sistem at cost. Sistem tersebut membuat pengeluaran perjalanan dinas lebih hemat, efisien, dan transparan karena ada bukti-bukti pembayaran transportasi dan akomodasi.

"Ada standar biaya khusus di instansi lainnya, tetapi KPK menggunakan sistem at cost," kata Kepala Biro Perencanaan dan Keuangan Sekjen KPK R Bimo Gunung Abdul Kadir, pada acara Forum Antikorupsi Indonesia Ke-3 di Jakarta, Senin (30/7).

At cost adalah sistem pembiayaan yang dibayarkan sesuai bukti riil yang dikeluarkan. Sisi positif sistem ini antara lain lebih hemat, efisien, dan transparan. Sisi negatifnya, ada potensi gangguan pada cash flow (aliran uang) persediaan, dan proses pemeriksaan pertanggungjawaban membutuhkan waktu lebih banyak.

Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Herry Purnomo mengatakan, pemerintah telah menerapkan sistem at cost. Dengan sistem ini, penggantian biaya perjalanan dinas sesuai bukti-bukti riil, seperti tiket pesawat dan boarding pass, serta kuitansi pembayaran hotel. "Saat pemerintah menerapkan sistem at cost, kasus korupsi berkurang," katanya.

Biaya perkara

Meskipun pemerintah telah menerapkan sistem at cost, Wakil Jaksa Agung Darmono mengatakan, anggaran penanganan perkara di Kejaksaan Agung masih menggunakan sistem lump sum. "Diharapkan ada pemenuhan anggaran riil sesuai kasus masing-masing. Yang sering terjadi, anggaran untuk lima perkara misalnya, bisa digunakan untuk menangani 10 perkara dengan sistem subsidi silang," ujarnya.

Ia memaparkan, biaya penanganan perkara tindak pidana tahun 2012 sebesar Rp 115 juta per kasus untuk tingkat nasional, dan Rp 95 juta per kasus untuk tingkat provinsi. Dana itu digunakan untuk penyelidikan, penyidikan, prapenuntutan, penuntutan, hingga eksekusi.

"Kesulitan kami adalah keterbatasan anggaran. Keberadaan pengadilan tipikor yang hanya ada di provinsi menyebabkan kami harus mengeluarkan biaya untuk menghadirkan tersangka ke provinsi," katanya.

Hal itu juga terjadi di KPK yang biaya penindakannya lebih tinggi dibanding kepolisian dan kejaksaan. Menurut Bimo, hal itu terjadi karena KPK harus melakukan penindakan di seluruh wilayah Indonesia. (lok)

Sumber: Kompas, 31 Juli 2012

No comments: