EFIX MULYADI
Ledakan bom di Jakarta pertengahan Juli yang mencoreng (lagi) wajah Indonesia justru menambah semangat bagi pemusik Addie MS untuk tampil secara optimal. Itulah yang ia buktikan bersama grup musik yang ia pimpin, Twilite Orchestra, di dalam pementasan di Sydney, Australia, 21 Juli 2009.
Pementasan mereka mendapat sambutan hangat penonton yang memadati ruang pertunjukan berkapasitas 2.500 tempat duduk.
"Kami tertantang untuk membuktikan bahwa Indonesia bukan hanya bom, tetapi juga kehangatan, perdamaian, seni musik, dan persahabatan," tutur Addie seusai latihan di gedung pertunjukan bergengsi Sydney Opera House.
Semangat persahabatan itu ia pompakan kepada 55 pemusiknya serta 80 anggota paduan suara gabungan Twilite Chorus dan CIC, paduan suara umat Katolik Indonesia yang bermukim di Sydney. Tampil pula penyanyi Binu D Sukaman dan Utha Likumahuwa serta dari tuan rumah Stephen Smith dan Jessica Mauboy.
Addie memang melihatnya bukan sekadar sebagai persoalan bermain musik, tetapi lebih sebagai langkah budaya yang penting di dalam konteks pasang surut hubungan di antara kedua negara. Ia percaya karya seni bisa menjadi sarana untuk menumbuhkan saling pengertian dan kuat potensinya untuk menjembatani perbedaan kultural.
Di dalam temu pers di Jakarta tentang lawatan orkes musik Indonesia ke Australia tersebut, ia mengungkapkan peran sangat penting yang dijalankan oleh para seniman di dalam hubungan internasional. Ia mencuplik contoh di dalam masa perang dingin antara (waktu itu) Blok Barat dan Blok Timur. Katanya, hubungan yang kaku dan penuh prasangka itu menjadi lebih cair ketika Boston Symphonic Orchestra tampil di Moskwa pada tahun 1956. Begitu juga yang terjadi ketika Philadelphia Orchestra manggung di Beijing pada tahun 1973. Kedua kelompok musik itu mewakili masyarakat "bebas" yang dipimpin Amerika Serikat, yang tampil langsung di jantung negeri-negeri kampiun komunisme, yaitu Uni Soviet dan Republik Rakyat China.
Rawan gejolak
Penampilan kelompok musik simfonik Indonesia di negeri tetangga tersebut diharapkan menjalani fungsi serupa di dalam ukurannya sendiri sebagai momentum yang sangat penting untuk meneguhkan persahabatan. Di luar langkah simbolik, ia juga bekerja di ranah kesadaran masyarakat.
Maklumlah, lebih daripada negeri lain, tampaknya Australia mendapat perhatian besar justru karena hubungan kedua negara yang rawan gejolak. Selalu ada saja perkara yang membuatnya memburuk, yang membutuhkan usaha ekstra untuk memulihkannya. Hal itu berlangsung sejak masa awal kemerdekaan Indonesia, jadi sebenarnya praktis sepanjang sejarah berdirinya Republik Indonesia.
Pada tingkat pemerintah, upaya mengokohkan hubungan baik cukup sering dilakukan. Hubungan yang cukup serasi dinikmati pada saat Australia di bawah PM Joseph Bennedict Chifley mendukung kemerdekaan RI sampai tahun 1950. Hal itu juga terjadi pada masa pemerintahan Paul Keating pertengahan tahun 1990-an. Banyak orang berharap hal serupa terjadi sekarang pada masa pemerintahan PM Kevin Rudd. Ada anggapan, setiap kali pemerintahan dipegang oleh Partai Buruh, hubungan terasa mesra dan produktif. Sikap partai tersebut tecermin dari ungkapan Keating: "Tidak ada negara lain di dunia ini yang lebih penting bagi Australia selain Indonesia."
Di luar itu, boleh dikata setiap kali persahabatan terancam. Kita masih ingat sejumlah gerakan, gestur politik tokoh-tokoh dari kedua pihak, ancam-mengancam gaya elite masyarakat, maupun taktik diplomasi, yang semuanya menyadarkan kita bahwa hubungan bisa memburuk setiap saat. Pada umumnya, langkah untuk "memadamkan kebakaran" seperti itu memang bertumpu pada upaya diplomatik .
Peran rakyat
Di mana tempat upaya-upaya menjalin persahabatan lewat olahraga atau kesenian?
Sasaran utamanya mesti ke jantung kehidupan masyarakat, yaitu untuk mengubah persepsi negatif warga atas bangsa atas pihak lain, secara "alamiah", dan langkah semacam ini memang harus terus-menerus dilakukan di dalam waktu yang panjang. Aktor utama adalah rakyat di kedua pihak dan pemerintah paling banter memfasilitasi. Peran dominan pemerintah justru bisa kontraproduktif. Pidato atau pernyataan politik tidak akan mampu mengubah persepsi buruk menjadi baik.
Karena itu, pertanyaan tentang siapa sasaran dari pentas olahraga atau seni di negeri tujuan menjadi penting untuk memastikan bahwa upaya yang menghabiskan dana dan energi tidak kandas hanya menjadi perbincangan di kalangan "indonesianis", kelompok atau lingkungan yang sudah dekat dengan Indonesia. Melegakan bahwa 2.000 tiket pertunjukan Twilite Orchestra di Sydney, 21 Juli, terjual dan hanya sekitar 500 lembar yang dibagikan kepada relasi Indonesia. Artinya, ribuan penduduk setempat mau merogoh kocek dan menonton suguhan Indonesia tersebut.
Indonesia pernah membuat festival kebudayaan Indonesia di Amerika Serikat (disingkat dengan Festival KIAS) yang berlangsung sampai 18 bulan pada tahun 1991. Itu sebuah kegiatan kebudayaan berskala besar, berlangsung di sejumlah negara bagian, serta mengerahkan dana dan bakat-bakat terbaik yang dimiliki. Maka, digelarlah pertunjukan wayang, teater modern, sampai pameran seni rupa yang menampilkan antara lain karya- karya para empu, seperti Affandi. Kompas mengikuti beberapa bagian kegiatan itu di sana dan melihat efektivitasnya yang rendah.
"Departemen kami akan terus mendorong pagelaran dan eksposisi kesenian Indonesia di berbagai kawasan dunia. Sesudah kelompok Twilite Orchestra di Sydney, akhir Juli ini rombongan seni Jayasuprana tampil di Melbourne. Di Amerika Serikat grup musik Dwiki Dharmawan berpentas keliling di beberapa kota dan masih banyak lagi lainnya," tutur Sapta Nirwandar, Direktur Pemasaran Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.
Langkah-langkah semacam itu, dalam berbagai ukuran, mesti terus-menerus dilakukan, langsung dari rakyat ke rakyat, sementara hasilnya mungkin masih lama bisa dipanen. Jalan kebudayaan tidak pernah berupa jalan pintas, apalagi sekadar pidato resmi.
http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/26/03104880/musik.simfoni.indonesia.dan.pesan.perdamaian.