Harry Potter & Pendidikan Anak
Refleksi
Harry Potter
Andar Ismail
Tidak! Saya tidak senang sihir! Saya tidak suka sihir! Apalagi percaya sihir! Uhhh, amit-amit! Boro-boro percaya, disuruh baca buku sihir pun, saya emoh banget!
Lho, kalau begitu kenapa ada buku tentang Harry Potter ini? Tenang, jangan buru-buru sewot. Jangan lihat buku ini langsung jadi sewot, "Murtad! Emangnya BPK Gunung Mulia itu penerbit sihir?"
Buku Injil menurut Harry Potter ini sama sekali tidak menggarisbawahi sihir. Sebaliknya, buku ini justru mengkonfrontasi praktik sihir dengan iman kristiani. Buku ini menyoroti praktik okultisme dalam terang Injil Kristus. Buku ini diterbitkan aslinya oleh penerbit milik Presbyterian Church USA, yaitu Westminster John Knox Press, yang sangat selektif dalam menerbitkan naskah. Pengarangnya pun mempunyai reputasi baik, yaitu Connie Neal, seorang pakar literatur Kristen.
Tetapi bukankah Harry Potter penuh sihir? Memang. Bahkan sihir dalam cerita Harry Potter banyak yang serupa dengan praktik dunia sihir sesungguhnya. Sampai-sampai ada tuduhan bahwa cerita Harry Potter secara terselubung bertujuan meracuni anak dengan ilmu sihir.
Jenis sastra cerita Harry Potter adalah fantasi dan berpanggung tentang sekawanan remaja yang berpetualang dengan berbekal kemampuan sihir.
***
Buku cerita fantasi memang merupakan wahana ampuh untuk mendidik anak. Jenisnya beraneka, tentang legenda dan fauna, peri dan kurcaci, epik dan profetik, pahlawan gagah berani melawan penjahat keji. Pokoknya seru! Belum lagi fiksi realistik, yang walaupun realistik namun tetap merupakan fantasi. Cerita fantasi berguna untuk mengembangkan imajinasi anak, sebab setiap orang perlu mengembangkan kemampuan berimajinasi.
Dengan membaca cerita fantasi, anak belajar membedakan antara khayalan dan kenyataan. Bisa jadi, setelah membaca cerita Harry Potter, anak ini meniru dan menyihir kucingnya, "Sim, sim salabim, kucing jadilah kau harimau!" Tetapi kucing itu malah lari ketakutan sambil mengeong. Tahulah anak ini bahwa khayalan bukan kenyataan.
Memang sejak dini anak memerlukan jenis-jenis bacaan fiksi atau non-fiksi yang beraneka ragam supaya ia mempunyai pilihan dalam mencari dan mengarahkan pembentukan jati dirinya. Kemajemukan jenis bacaan diperlukan untuk perkembangan kepribadian.
Semua itu hanya wahana. Yang penting lagi adalah tujuan, yaitu fungsi pedagogis di balik cerita. Apa nilai-nila hidup yang terkandung di dalamnya?
Cerita Harry Potter mengandung nilai-nilai pedagogis. Melalui alur yang padat rintangan dan solusi yang ditangani Harry Potter dan kawan-kawan, para pembaca melihat nilai-nilai seperti prakarsa, rasa ingin tahu, tekun, kreatif, inovatif, bersahabat, kerja sama, setia, jujur, mau berusaha dan berlelah, berani melawan yang jahat, dan banyak lainnya.
Dalam buku Injil menurut Harry Potter ini, Connie Neal mengajak kita melihat bahwa cerita Harry Potter menyiratkan banyak tema Injil Kristus yang dipraktikkan oleh para pelaku, misalnya mengampuni, mengasihi, merangkul yang tersisih, bertekun dalam derita, bermurah hati, menolong yang tidak berdaya, dan lainnya. Secara kasat mata Neal membandingkan berbagai adegan cerita Harry Potter dengan perikop-perikop dari keempat kitab Injil.
Tetapi bukankah perbuatan sihir Harry Potter berurusan dengan kuasa jahat? Memang! Justru karena itu kita diajak oleh Neal untuk menaati suruhan Kristus, yaitu menangkal kuasa jahat. Tulis Neal, "Therefore, although, they are real and dangerous, we need not cover in fear of evil spirits. Like Harry and friends, we can learn to practice Defense Against the Dark Arts, trusting that there is a greater power at work that we may not yet fully understand," Alkitab tidak menyangkal kuasa-kuasa sihir. Namun kuasa-kuasa itu dinilai tidak langgeng dan akan punah, sekalipun banyak sihirmu dan sangat kuat manteramu" (Yesaya 47:9).
Kuasa sihir sungguh ada, namun kita tidak percaya, dalam arti tidak mempercayai dan tidak mempercayakan diri kepadanya.
***
Sama seperti Harry Potter, kita pun hidup di tengah kuasa-kuasa kejahatan. Tetapi sumber pertolongan kita dalam menangkal kuasa-kuasa kejahatan itu berbeda dari Harry Potter, bahkan bertolak belakang. Justru cerita Harry Potter memawaskan kita pada sumber pertolongan kita, yaitu Kristus. Tulis Neal, "The Promised return of Jesus, the Prince of Peace, is bright opposite to the ominous expectation of the Dark Lord's return in Harry's world."
Tetapi apakah iman kristiani kita tidak jadi goyah jika membaca buku Harry Potter?
Ah, masakan! Masakan iman jadi goyah cuma gara-gara membaca dongeng? Tulis Neal, "Is our own faith so fragile that we dare not know what those of different sect of Christianity, or those of undisclosed religious persuasions, or those of different religious background are thinking?"
Cerita Harry Potter diminati dan dimusuhi. Yang suka cerita Harry Potter banyak, namun yang membencinya juga banyak. Bahkan ada gereja yang begitu sewot sehingga membakar buku Harry Potter.
Mendengar sewot-sewot itu, saya jadi berimajinasi. Apakah Tuhan juga ikut sewot? Maka saya pun mengetuk ruang belajar Tuhan. Ruangan itu penuh dengan buku. Sambil memperlihatkan buku Harry Potter, saya bertanya secara sopan, "Tuhan, maaf mengganggu sebentar. Buku Harry Potter ini menimbulkan heboh. Ada gereja yang memaki-maki pengarangnya dan membakar bukunya. Mereka sewot banget."
Kok, Tuhan tidak ikut sewot? Tuhan tersenyum, lalu Tuhan menoleh ke atas meja tulis-Nya. Astaga, ternyata di atas meja Tuhan pun ada buku Harry Potter. ***
(Penulis adalah pengarang buku-buku renungan "Seri Selamat" BPK Gunung Mulia)
Sumber: Suara Pembaruan, 21 Juli 2007