Katong Samua Basudara
Reny Sri Ayu dan Ponco Anggoro
"Bagi kami, setiap hari adalah hari raya. Hubungan kami bukan hanya karena ada hari raya, tapi hubungan persaudaraan yang mendalam, tanpa keterpaksaan dan tidak dibatasi kepercayaan, agama, atau apa pun," kata John Sahalessy.
John berteman dengan semua orang di Desa Wayame, Kecamatan Teluk Ambon, Kota Ambon. Selasa (21/12) siang, silih berganti tetangga John datang membawa bingkisan. Sama persis seperti John yang selalu membawakan bingkisan kalau teman-temannya merayakan Idul Fitri. John juga selalu mengundang mereka untuk acara Natal bersama di Gereja Pniel, tempatnya bekerja sebagai pendeta.
Memang tak semua warga Wayame merayakan Natal. Namun, semua ikut menyambutnya.
Menjelang perayaan Natal bersama 24 Desember, warga bekerja bersama. "Biasa memang kita bantu-bantu kalau tetangga mau Natalan. Biasa kalau mau Natal unit, anak-anak muda ikut bantu pasang tenda, kursi, bersih-bersih, dan bikin kue," kata Rusnawaty (25).
Rumah ayah Rusnawaty, Ali Minangkabau, bersebelahan dengan rumah Margaretha Durenge (50), tepat di depan Masjid Daarun Na'im. Bertetangga sejak kecil, Rusnawaty sudah menganggap Margaretha sebagai ibunya sendiri. Sejak ibu Rusnawaty meninggal, Margarethalah yang menjaga Rusnawaty dan adik-adiknya. Akmil Durenge (20), putra bungsu Margaretha, dianggap Rusnawaty sebagai saudara kandungnya. Akmil juga akrab dengan pemuda-pemuda di desanya. Ia bahkan sering diajak berkeliling membangunkan warga untuk sahur.
Kebersamaan dan persaudaraan di Wayame tidak bisa dirasakan di seluruh wilayah di kota Ambon. Ambon memang telah damai dan aman. Namun, persaudaraan dan kebersamaan antara kerabat, saudara, teman, sahabat, tetangga, dan kenalan yang beragama Kristen dan Muslim hilang. Bahkan, kini terjadi segregasi permukiman warga Kristen dan Muslim. "Dulu sebelum konflik kami masih punya tetangga Muslim. Setelah konflik, mereka tak lagi tinggal di sini. Rumah mereka jual. Saudara kami yang bertetangga dengan Muslim juga pindah," kata Hisky Lolokari (60), warga Kelurahan Waihoka, Kecamatan Sirimau, yang juga Ketua Pengurus Keluarga Maray di Ambon.
Ivon van Roem (40) dan Dani (43), warga Desa Poka, Kecamatan Teluk Ambon, menceritakan hal yang sama. Kendati dalam keseharian mereka tetap saling menyapa, hubungan belum kembali setulus dulu. Ada rasa waswas dan khawatir apa yang dilakukan atau dikatakan akan menimbulkan salah paham.
Hisky, Lukas, Ivon, dan ribuan warga Ambon lainnya merindukan kebersamaan. Modal untuk kembali ke impian itu masih ada, yaitu lewat Pela Gandong, yang merupakan ikatan kekerabatan yang dibangun oleh para leluhur atas sumpah persaudaraan dan garis darah yang berbeda agama.
Willem Pariama, Wakil Sekretaris Sinode Gereja Protestan Maluku yang juga tokoh masyarakat Maluku, mengatakan, Pela Gandonglah yang menjadi akar yang bisa mempersatukan warga Maluku secara keseluruhan yang pernah tercerai-berai oleh konflik.
"Perbedaan agama dan kepercayaan hanya sebatas pagar halaman masjid atau gereja. Keluar dari pagar rumah ibadah, kami semua sama dan satu, warga negara Indonesia yang hidup di tanah yang sama dan berasal dari leluhur yang sama," kata John Sahalessy.
Pela Gandong bukan sekadar warisan masa lalu. Saat ini, masyarakat Maluku perlu mengaktualisasikan Pela Gandong dan menempatkannya dalam konteks yang lebih modern, ditambah dengan semangat nasionalisme. Kita pasti masih bisa berharap karena sesungguhnya katong samua basudara!
Sumber: Kompas, 23 Des 10