Menjaga Hati
Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan karena dari situlah terpancar kehidupan. (Amsal Salomo 4:23)
Menjaga Hati
MetroTV - Senin, 30 Agustus 2010 14:24 WIB
GAGASAN 12 ANALIS METROTV
Tentang Indonesia Sejahtera
HATI, merupakan bagian diri manusia yang misterius. Karena kemisteriusannya pula penggunaannya pun seringkali sangat simbolik. Sering kita mendengar ungkapan "hatiku terluka" atau "hatiku tercabik-cabik" yang biasanya dilontarkan orang yang baru ditinggalkan orang yang dikasihinya, atau baru mendengar berita duka. Demikian pula ketika diterjemahkan ke dalam bahasa inggris, hati menjadi "heart", yang padahal terjemahan literalnya adalah jantung. Mungkin ini menunjukkan bahwa hati yang seringkali disebutkan dalam konteks ungkapan seperti di atas tadi adalah bagian yang vital bagi hidup manusia seperti vitalnya fungsi jantung bagi kita. Karenanya menjaganya menjadi sebuah keniscayaan bagi mereka yang ingin menjaga hidup dan kehidupan.
Sedemikian pentingnya hati, maka meskipun dalam berkomunikasi kita melibatkan telinga, mulut, pikiran, mata dan tangan, tapi untuk meminta agar komunikasi berjalan dua arah, maka ungkapan yang dikeluarkan adalah "mohon per-hati-an" dan bukan "mohon per-telinga-an". Atau kita perhatikan ungkapan-ungkapan lain yang sifatnya meminta, menyarankan seperti "Harap diper-hati-kan!" atau "Hati-hati di jalan."
Kita tidak tahu siapa orang pertama yang membawa istilah "hati" ini menjadi khazanah bahasa Indonesia dan dalam komunikasi harian. Dalam bahasa Inggris dan Arab, terdapat beragam kata yang serumpun dengan kata "hati", yang semuanya berkaitan dengan sikap batin, yang selalu ingin mendapatkan rasa damai, kasih, sadar, tulus, dan peduli serta cinta. Ketika kita bingung memutuskan suatu perkara, dianjurkan agar mendengarkan "hati nurani" atau "suara hati". Ketika hendak memilih pasangan hidup, orang tua selalu pesan, "Sing ati-ati milih konco urip kanggo sak lawase". Yang hati-hati memilih teman hidup untuk selamanya. Demikian vitalnya peran hati sehingga Nabi Muhammad bersabda, siapapun yang hatinya baik, maka baiklah semua perilakunya. Dan siapa yang hatinya sakit, maka sakitlah semua amalnya. Jadi, betapa sentralnya peran "hati" dalam kehidupan sehari-hari, karena dari situlah terpancar energi kebaikan dan keburukan, dorongan ke arah kemuliaan atau kenistaan.
Karena suara hati selalu mengajak pada kebaikan, maka orang yang bijak mesti mendengarkan kata hatinya sebelum berbicara dan bertindak. Hati nurani adalah guru, pembimbing dan konsultan yang tidak mau berbohong. Terlebih jika hati ini selalu diterangi dan ditambah energi ilahi, maka akan semakin kuat dan jelas petuahnya agar kita berada di jalan yang benar, yang baik, dan ingin menggembirakan sesama.
Salah satu fungsi ibadah dan puasa adalah untuk membersihkan kotoran-kotoran agar tidak mengeras dan berkarat sehingga menutupi masuknya cahaya ilahi untuk menerangi relung hati. Kalau sudah tertutup maka suara hati nurani bisa kalah, suaranya lemah, perintahnya tidak wibawa. Yang cenderung terjadi, seseorang lalu begitu rentan dipengaruhi dan dikendalikan oleh nafsu rendahan yang hanya mengejar kenikmatan fisik, dengan mengurbankan kebahagiaan moral-spiritual. Kenikmatan fisik durasinya pendek, dan semakin tua usia seseorang, maka semakin mengecil kenikmatan fisik yang bisa diraih. Ketika kesehatan kian menurun, berbagai macam penyakit berdatangan, satu-satu kenikmatan fisik menyatakan "selamat jalan". Dulu ketika masih berstatus mahasiswa ingin makan enak tidak punya uang, setelah tua punya jabatan tinggi dan uang berlebih tidak boleh makan enak. Sungguh, kalau saja direnungkan betapa singkatnya kenikmatan dunia melayani dan memanjakan kita.
Tetapi mereka yang hatinya selalu berjaga, selalu aktif dan senantiasa disirami dengan energi cahaya ilahi, maka semakin tua usia seseorang hatinya justru semakin sehat, semakin lapang dan semakin bijak sehingga kebahagiaan yang akan diraih justru lebih tinggi kualitasnya, yaitu kebahagiaan moral-spiritual. Jika kebahagiaan fisik didapat dengan mengumpulkan dan menumpuk materi, maka kebahagiaan moral-spiritual didapat justru dengan banyak memberi dan berbagi pada sesama. The more you give, the more you recieve. Tak ada dermawan jatuh miskin, justru rejekinya semakin berkah dan bertambah. Ketika memberi dengan penuh ikhlas, sesungguhnya seseorang tengah menabung dengan bunga berlipat ganda sebagaimana dijanjikan Tuhan.
Jadi, menjalani hidup mesti "hati-hati". Mesti didengarkan suara hati yang selalu membisikkan kebenaran, kebaikan dan kedamaian. Tentu saja pikiran harus juga digunakan, namun mesti didampingi dengan hati. Tanpa didampingi hati nurani, kecerdasan yang berdampingan dengan nafsu serekah bisa berbuat sangat kejam, tidak mengenal belas kasih. Pikiran bertugas memecahkan problem teknis, sedangkan hati yang memberikan makna dan arah kehidupan. Misalnya, bagaimana menciptakan mobil, itu tugas pikiran yang kemudian dibantu ketrampilan tangan. Bagaimana menciptakan telepon, itu prestasi kecerdasan nalar. Tetapi jika ditanyakan, untuk apa mobil dan telepon diciptakan, hati nurani yang mestinya menjawab. Mobil dicipta bukan untuk berperang, bukan untuk pamer, bukan untuk menaikkan gengsi, tetapi mempermudah silaturahmi, mempermudah cari nafkah, mempermudah anak-anak berangkat sekolah yang semua itu bermuara agar hidup ini semakin berkualitas dan bermakna baik di hadapan manusia maupun Tuhan.
Sadar bahwa yang dimohon adalah per-hati-annya, maka mestinya yang diberikan adalah hati. Menyadari agar semua tugas harus dilaksanakan dengan hati-hati – ingat kata "hati" sampai diulang dua kali - maka ketika melaksanakan tugas juga harus sepenuh hati. Lagi-lagi, betapa dalam dan bijaknya orangtua yang menyelipkan kata "hati" dalam bahasa Indonesia. Saya belum tahu, apakah bahasa lain memiliki wisdom seindah itu?
Bagaimana bekerja dengan menghadirkan hati? Contoh paling mudah dan nyata adalah sewaktu berdoa. Ketika berdoa, yang mesti hadir dan berbicara adalah hatinya. Peran mulut hanyalah membantu agar hati fokus dalam berdoa. Jadi, ketika yang berdoa hanya mulut, meski hafal dan keras, tetapi hatinya absen, maka itu bukanlah berdoa, melainkan hanya melafalkan kalimat doa. Ketika sembahyang hatinya tidak hadir dan fokus pada Tuhan, secara ekstrim itu bukanlah sembahyang, melainkan olahraga menyerupai gerak sembahyang.
Saya sendiri sering merenung, mengapa ada buku yang usianya sudah puluhan dan ratusan tahun masih terasa segar dan menyegarkan ketika dibaca? Tapi ada buku yang terasa hambar ketika dibaca? Konon katanya, ada orang yang ketika menulis buku disertai kehadiran, ketulusan dan kecerdasan hati. Dari lubuk hati terdalam mereka ingin berbagi cinta dan ilmu dengan pembacanya. Bahkan ada yang menyucikan diri ketika dalam proses penulisan. Mungkin karya-karya tulis semacam itu yang memang ditulis dari hati dan akan memperoleh respons dari hati pembacanya. Mari kita ber hati-hati menjaga hati.
Komaruddin Hidayat
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.